Oleh: Wira Atma Hajri, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau Konsentrasi Ketatanegaraan (Siyasah Islam)/Abituren Ma'had Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang
Pada prinsipnya, Pilkada Serentak sudah selesai. Kendatipun belum ada keputusan dari KPU, sesungguhnya masing-masing pihak sudah tahu jumlah suara yang mereka peroleh. Karena itu, tak usahlah adanya saling klaim bahwa aku lah yang menang dan pasangan yang lain yang kalah. Itu tidak baik. Itu akan memperkeruh suasana saja. Itu akan semakin merusak habblun minannas antar pasangan calon.
Tak dipungkiri memang bahwa pilkada melalui rakyat secara langsung ini, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada pihak manapun, baik pasangan calon yang meraih suara terbanyak maupun yang bukan, semuanya itu adalah "nasib-nasiban" saja.
Apa sebab? Kita tak pernah tahu pastinya siapa yang memilih siapa. Kita tak pernah tahu pastinya sebelum pemilihan berapa jumlah pemilih yang akan menggunakan hak pilihnya. Dan, tak dipungkiri juga, terkadang para pemilih tidak tahu secara baik pasangan mana yang mereka pilih.
Sehingga, kalau ada pihak yang mengatakan bahwa memilih berdasarkan hati nurani, hal inipun patut dipertanyakan juga. Nurani yang mana? Inilah kritik saya terhadap demokrasi di samping semua orang suaranya dianggap sama.
Satu orang satu suara. Suara orang yang baik dengan orang jahat sama saja. Tak ada bedanya suara orang yang taat dengan yang tidak. Suara orang yang tak berilmu dengan berilmu juga demikian. Semuanya sama saja. Padahal, Allah telah tegaskan dalam Al-Qur'an, bahwa: "Katakanlah, Adakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?". (QS. Az-Zumar (39): 9)
Sehingga, dalam sistem pilkada yang kita anut hari ini, siapapun bisa menang dan siapapun juga bisa kalah. Karena lagi-lagi suara mayoritas adalah sesuatu yang mutlak adanya. Ini menentukan. Tak bisa ditawar-tawar. Ini prinsip utama demokrasi. Berapa pun uang yang digelontorkan untuk menarik suara rakyat, bisa dipastikan percuma saja. Dengan demikian, setiap pasangan harus siap menang, pastinya siapapun siap menang, tetapi juga harus siap kalah. Sayangnya, banyak pasangan calon di mana mereka tak siap kalah.
Dalam pengamatan saya selama ini, esensi "mereka tak siap kalah" itu sesungguhnya bukanlah persoalan kalahnya mereka dalam pilkada itu. Tapi jauh lagi adalah, besarnya uang yang telah mereka keluarkan selama ini. Baik pada masa pencalonan, maupun pada masa-masa kampanye. Bahkan, menggelontorkan sejumlah uang melalui "serangan fajar" pun, juga tidak mustahil pasangan calon tertentu lakukan. Ini sudah rahasia umumlah.
Tapi yang jelas, ini semu sudah berakhir. Apapun hasilnya, terima sajalah. Tak usah habiskan uang, waktu, maupun energi lagi untuk menggugat ke MK.
Tapi, kalau mau menggugat, ya terserah saja. Itu kan hak. Pastinya, mau mengugat ke MK, tentu butuh uang lagi. Advokat/pengacara yang biasa lalu lalang di MK, sudah menjadi rahasia umum, bayaran mereka itu mahal lho. Milyaran bayarannya. Selama ini, hampir dipastikan, MK pun juga kan menolaknya. Kalau diangkakan, misalkan dari 100 perkara pilkada, selama ini yang saya amati, ya, 1 kasuslah mungkin dikabulkan oleh MK. Dan itupun mungkin ya. Jadi hampir mustahil juga.
Untuk itu, saran saya, memang ini berat bagi yang kalah, perbanyaklah istighfar semabari meminta bantu dengan Allah untuk ketenangan jiwa. Sebab, sekali lagi semuanya sudah berakhir. Semuanya ada hikmahnya. Mungkin ini yang terbaik oleh Allah untuk kita semua. Mungkin.
Di pengujung artikel ini saya kutip nasehat Allah SWT, bahwa: "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui". (QS. Al-Baqarah (2): 216)
Tentang Penulis
Wira Atma Hajri, lahir di Bangkinang (Riau), 11 Maret 1990. Penulis adalah lulusan Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang (2008). Beberapa kali Penulis menyandang predikat sebagai juara umum di pondok pesantren tersebut. Meraih gelar Sarjana Hukum dari Departemen Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR) sebagai lulusan terbaik (2012), dan Magister Hukum dari departemen yang sama di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan predikat kelulusan 'Dengan Pujian' (Cumlaude) dalam waktu 13 bulan (2013). Saat ini adalah Dosen Tetap Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Riau pada Fakultas Hukum UIR. Di samping itu juga dipercayakan oleh Rektor UIR sebagai Pengelola UIR Press. Penulis bergabung dengan lembaga dakwah Majelis Dakwah Islamiyah Kota Pekanbaru dengan Nomor Indeks/Keanggotaan 629 (2009-sekarang).
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…