RIAUBOOK.COM - Tanggal 2 Syawal merupakan salah satu hari yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang ada di Gunung Sahilan. Selain merayakan Idul Fitri, ada satu acara yang dinantikan, yaitu perayaan lebaran adat pada tanggal 2 Syawal 1438 H atau 26 Juni 2017 lalu.
Persis hari lebaran adat itu, anak kemenakan sudah berkumpul di rumah sompu masing-masing. Untuk di Gunung Sahilan ini sendiri ada tujuh suku yakni Suku Melayu Darat, Melayu Palokoto, Piliang, Mandailing, Pitopang, Domo dan Chaniago.
Bagi masyarakat Gunung Sahilan, rumah sompu adalah tempat berkumpul bagi anak kemenakan satu suku. Disanalah mereka saling bermaafan dengan ninik mamak, sekaligus juga membicarakan soal masa depan suku, tanah soko, perincian uang soko dan sebagai tempat silaturrahmi antara keluarga yang tinggal di dalam dan di luar Gunung Sahilan.
Dari kejauhan sudah terdengar dentuman meriam. Kalau orang Gunung Sahilan sendiri menyebutnyalelo. Meriam tenteng yang sudah berumur ratusan tahun yang konon merupakan rampasan dari tentara portugis yang bersemayam di dalam istana.
Biasanya sepekan sebelum dipakai,Leloini di-mandi balimau dulu selama tiga hari berturut-turut.
"Itulah kebiasaan yang ada. Sebab kalau tidak balimau dulu, akan ada bala atau kecelakaan yang terjadi,"cerita Azirman, juru kunci Istana Gunung Sahilan ini.
Jika pada Senin pagi di bulan Juni itu suara meriam sudah terdengar, maka ini pertanda bahwa arak-arakan sudah akan dimulai.
Dan lantaranlelosudah berbunyi, maka ninik mamak yang satu mulai menjemput ninik mamak yang lain. Menurut tradisi yang ada disana, arak-arakan dimulai dari rumah sompu maliliang atau mandailing untuk menjemput mamak dari suku lain. Sompu ini persis tidak jauh dibelakang Gun (alun-alun) istana, tempat acara lebaran adat dilaksanakan.
Lalu disusul oleh Suku Pitopang, Melayu Palokoto dan Piliang. Setelah itu Melayu Darat yang sompunya dekat sompu Mandailing, Domo dari sebelah kiri Gun dan Chaniago yang berada di dekat Mesjid Nurul Iman. Kemudian berarak bersama anak kemenakan serta malin, tokoh agama ke Gun. Arak-arakan ini dihiasi oleh irama gong dan calempong. Namun sebelum sampai di Gun mereka singgah dulu di istana menjemput pewaris kerajaan.
Dari istana inilah semuanya berangkat ke Gun. Pewaris kerajaan Tengku Nizar menggunting pita di gerbang Gun, didampingi Datuak Godang Utama Warman dan Datuak Bosou Zainal. Pita digunting, sebagai tanda bahwa acara resmi dibuka.
Acara resmi itu kemudian diisi oleh sejumlah pidato. Mulai dari ketua panitia, Datuok Bosou dan pewaris kerajaan.
Puncaknya, lelang makanan yang dikemas bercampur nasi kuning pun digelar. Lelang yang disebut-sebut bertujuan untuk menambah duit ongkos acara ini tergolong unik. Sebab makanan yang dilelalng hanya satu paket. Hanya saja paket ini bisa berpindah tangan hingga ke beberapa orang.
Setiap yang sudah menawar dan memegang paket lelang itu berhak menunjuk seseorang untuk memegang lelang yang sudah dia tawar dan orang yang baru yang memegang itu membuka tawaran pula. Kalau sudah tak ada lagi yang menawar, maka si penawar terakhirlah yang berhak. Paket lelang yang tak pernah digelar di jaman kerajaan ini bisa mencapai tawaran seharga Rp5 juta.
"Jika semua acara sudah rampung, makalelo kembali didentumkan. Dentuman ketiga itulah yang menjadi pertanda kalau puncak acara lebaran adat itu selesai," tutupnya.(RB/RI)
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…