Ketika Fokus saat ini terkuras dengan Pro-Kontra kasus diterbitkannya Peraturan Pemerntah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tentang Ormas oleh Pemerintah, rakyat dikejutkan kembali dengan Pemberian "Hadiah" oleh KPK terkait Penetapan Tersangka Ketua DPR RI Setya Novanto.
Sebagaimana diketahui bahwa KPK menetapkan Ketua DPR RI sebagai tersangka setelah pemeriksaan dilakukan Jumat pekan lalu. KPK sempat menyatakan bahwa "KPK tidak akan mengecewakan publik dalam menetapkan tersangka E-KTP. Tidak dapat ditampik bahwa Persepsi Publik untuk melihat Respon dari DPR dengan Pansus KPKnya, Episode terbaru Cicak VS Buaya Edisi Modernitas sekarang.
Pansus Angket KPK harus terus melanjutkan tugasnya, disinilah waktu untuk menunjukkan ke Publik bahwa Pansus Angket ini tidak serta merta lahir karena sebuah kasus Korupsi E-KTP, namun sesuai dengan tujuan dan cita-cita pembenahan lembaga penegakan Hukum KPK yang memang jika dirunut sudah harus mengalami perbaikan demi menegakkan Teori Penegakan Hukum yang baik.
Korupsi harus tuntas bukan semakin banyak, sesuai dengan tujuan Hukum Pidana untuk memberikan efek jera agar orang takut untuk melakukan perbuatan pidana dan fungsi Preventif dan Pembinaan sehingga kehidupan berngera menjadi aman dan tenteram.
Melihat Sosok Setya Novanto yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini dapat dikatakan salah satu politikus Fenomenal terutama dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini, setelah diawal terpilihnya beliau menjadi ketua DPR RI beliau mendapat tinta Merah oleh KPK yang pada saat diketuai oleh Abraham Samad.
Belum lagi bolak-baliknya beliau diperiksa sebagai Saksi atas-atas kasus korupsi yang disangkakan kepadanya, dan yang terheboh saat itu ialah Kasus "Papa Minta Saham" yang memaksa beliau saat itu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI. Walaupun dalam proses politiknya setelah itu Setya Novanto kembali menduduki Kursi Ketua DPR RI setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa alat bukti yang digunakan untuk perkarakan Novanto di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tidak memiliki dasar hukum.
Maka dengan ditetapkannya Setya Novanto "kembali" menjadi tersangka maka akan kembali lagi episode diujinya kausalitas antara Penegakan Hukum dan Politik.
Kasus Setya Novanto ini seharusnya dipandang sebagai Musibah serta menjadi tamparan keras bagi sistem Demokrasi kita, Pimpinan Lembaga Negara seharusnya adalah orang-orang yang menjadi penengah hukum, yang pendapatnya dijadikan pembelajaran dan juga dapat dijadikan rujukan dalam proses penegakan Hukum.
Bukan Justru malah berkecimpung menjadi orang yang melanggar serta melawan Hukum, cukup kasus Patrialis Akbar yang membuat kita menggeleng-gelengkan kepala dalam kehidupan demokrasi kita. Supremasi hukum memang tidak dapat ditawar-tawar lagi sebagai Solusi bangsa ini. Hukum harus Determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan politik harus diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan Hukum.
Menyikapi persoalan Setya Novanto ini, selayaknya mencoba mengajukan Gugatan Praperadilan untuk melihat keabsahan dari Penetapan tersangka, karena walaupun track recordnya sudah mengarah kesana, kedudukan Setya Novanto di Negara ini sangat penting, Sebagai ketua DPR-RI yang diejawantahkan sebagai lembaga perwakilan Rakyat Indonesia, dan juga sebagai Ketua partai Politik besar dan disegani di Indonesia.
Jikalau terbukti sah tanpa harus menunggu proses lagi sebaiknya mengundurkan diri demi kepentingan Bangsa dan tidak terganggunya Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat tempatnya bernaung. Karena Nilai-nilai malu dan mundur seharusnya mampu dan patut menjadi tradisi atau budaya baru di lingkungan pejabat publik. Dengan demikian, pejabat publik yang melanggar etika dan peraturan tidak perlu dipaksa mundur. Namun sudah menyadari harus melepaskan Jabatan tersebut demi kemakmuran Rakyat.
Saya teringat kasus rektor UII bapak Harsoyo yang mengundurkan diri akibat 3 orang Mahasiswanya Meninggal usai mengikuti kegiatan kampus sebagai rasa tanggung jawabnya.
Kita saat ini seakan hidup di era Dagelan, Pimpinan lembaga Negara yang seharusnya menjadi tokoh dan panutan bagi rakyatnya malah justru terjerembab dalam perbuatan-perbuatan yang melanggar dan juga melawan Hukum, masih teringat jelas mantan Ketua MK, Ketua DPD dan sekarang Ketua DPR-RI.
Benar yang dikatakan Lord Acton bahwa kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Maka kekuasaan itu selayaknya diberikan kepada orang yang baik dan berkompeten. Saya menunggu Episode suatu saat nanti bisa jadi Ketua KPK dan Presiden Selanjutnya. Bisa saja. (RB/yopi))
*Oleh Triandi Bimankalid, penulis adalah mantan aktivis mahasiswa Universitas Riau.
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…