RIAUBOOK.COM - Seorang anggota DPRD Riau, berinisial EM, dilaporkan ke Polda Riau, karena diduga menggunakan surat palsu atas lahan yang berada di Jalan Jenderal Sudirman Kota Pekanbaru.
Di atas lahan ini berdiri Gedung Badan Kesatuan Bangsa Politik Provinsi Riau yang akan dieksekusi pihak pengadilan.
Nurva Edrita , warga Jalan Nurul Ikhlas Nomor 30 A Kelurahan Tangkerang Tengah, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru, adalah pihak yang melaporkan Erizal Muluk.
Nurva dan keponakannya Dian Citra Dewi, kepada wartawan mengatakan, lahan tersebut telah dimiliki dan digarap kakeknya yang merupakan pensiunan Polri sejak tahun 1962. Sekitar tahun 1970, didirikan pondok yang ditempati oleh keluarga mereka.
Tahun itu juga, sang kakek pernah mengurus surat atas tanah tersebut ke kantor desa (saat itu bernama kewedanaan). "Saat itu, orang kantor desa mengatakan tanah tersebut belum bisa diurus karena dari tahun 1962 hingga 1970 itu baru 8 tahun. Bisa diurus minimal 10 tahun," ujar Dian diikuti anggukan Nurva, Kamis (26/10/2017).
Dia melanjutkan, pada tahun 1975 kakeknya kembali kantor desa, dan terbitlah Surat Tebang Tebas atau Surat Keterangan Tanah, yang di bawahnya tertera stempel. "Namun di atasnya disebutkan kakek saya sudah menggarap lahan tersebut secara terus-menerus dari tahun 1962, dan kakek saya meninggal pada tahun 1979," ucapnya.
Kemudian pada tahun 1991, tanah tersebut ingin dibeli oleh Direktorat Jenderal Pajak. Lalu, kata Dian, pihak keluarga melalui neneknya ingin meningkatkan status alas hak menjadi Sertifikat Hak Milik berdasarkan SKT yang dimiliki. Namun saat itu, oleh pihak kelurahan proses itu dipersulit.
"Kami baru tahu cerita ternyata lurahnya waktu itu masih keluarga Erizal Muluk. SKT tersebut sempat ditahan sama orang kelurahan. Entah mau difotokopinya entah mau diapakannya, saya tidak tahu. Sehingga batal jual beli dengan Dirjen Pajak. Setelah beberapa hari baru dikembalikan surat tanah itu ke nenek saya," kata Dian.
Tidak lama setelah itu, kata Dian, Erizal Muluk mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap neneknya dan sejumlah tergugat lainnya sekitar 16 orang yang menempati tanah tersebut.
"Saat sidang di lapangan, Erizal Muluk tidak bisa menunjukkan batas tanahnya. Kalah la dia waktu itu. Dengan putusan tahun 1991 itu NO (Niet Ontvankelijke Verklaard/putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena alasan gugatan mengandung cacat formil)," katanya.
Pasca ditolaknya gugatan Erizal Muluk, pihak keluarga kemudian melanjutkan pengurusan surat, dan akhirnya selesai. Lalu, ada penawaran dari Dirjen Pos dan Telekomunikasi untuk membeli lahan tersebut. "Tahun 1993 sertifikat jadi, semua diurus, sertifikatnya jadi. Maka lahan itu dijual ke Dirjen Postel," ujarnya.
Tidak menyerah, Erizal Muluk kembali mengajukan gugatan pada tahun 1993, dengan alas hak dan objek yang sama. Namun, menurut pihak keluarga, di dalam materi persidangan itu banyak kejanggalan, dan Erizal Muluk dinyatakan menang. Pihak keluarga Dian kemudian mengajukan upaya hukum banding, dan hasilnya Pengadilan Tinggi keluar tahun 1996, menguatkan putusan lembaga peradilan tingkat pertama.
Sepuluh tahun dari putusan tersebut, pihak keluarga mengaku tidak pernah mendapat teguran dan surat yang menyatakan kalau mereka kalah. Malah pada tahun 2003, mereka masih sempat menyertifikatkan sebagian lagi lahan yang belum dilepas dari Dinas Pariwisata Provinsi Riau sebagai pihak penerima hibah dari Pemerintah Pusat melalui Dirjen Postel.
"Tahun 2006 kami dikejutkan dengan putusan pengadilan dan keluar surat pemberitahuan yang menyatakan kami harus mengosongkan tanah tersebut," imbuhnya.
Setelah mempelajari putusan tersebut, tahun itu juga pihak keluarga melaporkan adanya indikasi surat palsu ke Polresta Pekanbaru. Saat itu ada press rilis dari Polresta yang menyatakan kalau surat itu palsu berdasarkan Labfor Medan.
"Kita masih simpan kliping korannya. Kemudian Erizal Muluk dipanggil ke Polresta berdasarkan informasi dari penyidik. Setelah dua kali dia datang, lalu saya dapat informasi kalau kasus itu dihentikan," ucap Dian.
"Tahun 2012 datang lagi surat peringatan yang sama dari pengadilan. Kita lapor lagi ke Polda Riau saat itu, dan dinyatakan tidak bisa diteruskan penyidikannya," jelasnya.
Lalu, pada 21 agustus 2017, mereka dipanggil Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Riau bersama seluruh masyarakat yang menempati lahan tersebut. Hal itu dikarenakan Pemprov sudah didesak untuk membayarkan ganti rugi atas lahan tersebut.
Pemprov Riau kemudian menanyakan sikap Dian dan keluarganya. Karena warga merasa memiliki, satupun tidak ada yang mau menyerahkan. Pihak Pemprov Riau menyatakan agar kami mempertahankan lahan tersebut.
"Selasa (24/10) kemarin, tante saya (Nurva) melaporkan hal ini ke Polda Riau. Tante saya memiliki sertifikat lahan persis di belakang Kantor Kesbangpol Riau, dan itu yang tidak pernah dibatalkan pihak pengadilan, dan ikut disuruh mengosongkan lahan itu. Kami mengindikasi surat ini (yang dimiliki Erizal Muluk) palsu," tegas Dian.
‎Sementara itu,Kabid Humas Polda Riau Kombes Guntur Aryo Tejo, membenarkan adanya laporan tersebut. Dikatakan Guntur, dalam laporan tersebut pihak terlapor, yakni Erizal Muluk, disangkakan melanggar pasal 263 KUHPidana tentang membuat surat palsu keterangan palsu berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/458/X/2017/SPKT/Riau tanggal 24 Oktober 2017.
"Kita masih mempelajari laporan tersebut. Pihak pelapor (Nurva) sudah diminta keterangan saat membuat laporan. Sementara untuk terlapor (Erizal Muluk) juga akan diklarifikasi. Kalau alat bukti sudah cukup, maka status terlapor bisa ditingkatkan menjadi tersangka" kata Guntur. (RB/san)
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…