JIKA pelacur menjual barang paling berharga miliknya dan mendapatkan hak atas pengorbananan diri, politisi lebih dari itu, banyak mereka menjual janji yang bahkan janji tersebut sesungguhnya adalah hak masyarakat.
Kata "pelacur politik" bisa dianologikan kepada mereka yang dianggap sebagai "politisi korup", dimulai dengan janji-janji manis yang membuaikan, namun akhirnya menjatuhkan harga diri bangsa dan negara dengan prilaku 'jual diri'.
Kondisi demikian memang beralasan adanya, karena kebanyakan mereka menjajakan (menjual) harga dirinya pada tumpukan rupiah. Pelacur-pelacur politik tidak pernah memikirkan kepentingan rakyat.
Tapi, bagi mereka yang terfikirkan bagaimana bisa memenuhi urusan perut sendiri dan kroni-kroninya menumpuk kekayaan dari hasil uang rampokan dan sogokan yang jelas-jelas haram hukumnya. Hati-hati, karena semuanya dimulai dari janji-janji.
Paling Korup
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tingkat pusat hingga daerah bahkan dinilai menjadi lembaga paling korup di Indonesia.
Survei Global Corruption Barometer (GCB) 2017 yang disusun Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan bahwa 54 persen responden menilai lembaga yang mewakili rakyat itu sebagai institusi terkorup. Disusul oleh birokrasi pemerintah.
Sementara kepolisian yang sempat menduduki peringkat teratas pada survei serupa pada 2013, kini menempati urutan terkorup keempat.
Tidak hanya sampai disitu, menurut Anti Corruption Clearing House (ACCH-KPK) sejak per 30 Juni 2017, di tahun 2017 KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian: penyelidikan 48 perkara, penyidikan 51 perkara, penuntutan 41 perkara, inkracht 40 perkara, dan eksekusi 40 perkara.
Dan total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2017 adalah penyelidikan 896 perkara, penyidikan 618 perkara, penuntutan 506 perkara, inkracht 428 perkara, dan eksekusi 454 perkara.
Praktik Pelacuran
Tempat-tempat praktik perpelacuran politik di negeri ini, tidak terlepas di areal APBN, APBD, Banggar, perpajakan, proyek pemerintah, dan dana hibah yang tidak jelas pengeluaranya, merupakan bagian wilayah atau tempat potensial mengambil berkah.
Maka tidak heran jika para pelacur dan praktek perpelacuran politik biasa mangkal di tempat-tempat tersebut guna meraup keuntungan pribadi.
Praktik-praktik yang digunakan cenderung manipulatif dan merekayasa rakyat dalam bentuk data-data statistik pengeluaran yang disusun seksi dan menarik. Hingga pada akhirnya rakyat kagum dan terpesona dengan polesan bedak pencitraan politisi yang tampil dengan retorika yang seksi dan hot di depan televisi.
Fenomena tersebut jika merujuk pada istilah "dramaturgi" yang diperkenalkan oleh Erving Goffman, prilaku korup (koruptor) memainkan peran teater perpolitikan sarat dengan manipulatif.
Mereka berusaha mengontrol diri seperti penampilan, gesture, dan retorika agar prilaku penyimpangan tidak tercium oleh publik, karena politisi tersebut faham betul menjaga citra merupakan bagian penting untuk mendulang simpati.
Dengan begitu, koruptor berperan ganda, atau malah bermuka dua.
Jika ada pelacur politik, lantas adakah pelanggan dan mucikari/germo politik? Tentu jawabannya iya.
Pelanggan-pelanggan para pelacur politik ini kebanyakan mereka adalah para pengusaha gelap (kapital) atau pihak-pihak berkepentingan yang sering menggunakan jasa pelacur-pelacur politik tersebut.
Mereka menggunakan jasa pelacur politik karena ada alasan simbiosis mutualisme (hutang balas budi), praktek transaksional biasanya dilakukan pada wilayah-wilayah pemenangan tender/proyek pemerintah.
Pada akhirnya hasil transaksional bisa dinikmati baik para pelacur politik maupun pelanggannya. Sedangkan, "germo politik", mereka adalah oknum-oknum yang mengkoordinasi para "pelacur politik" tersebut dengan bos-bos (big Boss) di lingkaran kekuasaan.
Termarginalkan
Seorang koruptor dalam kenyataannya tidak hanya berkaitan dengan uang dan harta serta kekuasaan dan wewenang, melainkan lebih pada perilaku yang tercela (lacur) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pelacur dalam konteks sebenarnya, mereka adalah orang-orang yang termarginalkan secara akses maupun aspirasi politik, keterbelakangan pendidikan, kurangya skill, yang pada akhirnya mereka melacurkan diri karena tuntutan kebutuhan ekonomi.
Bandingkan dengan politisi korup! Mereka secara background sosial-ekonomi termasuk kelompok perpendidikan tinggi, bergaji besar, kebutuhan ekonomi berkecukupan, ditambah lagi dengan fasilitas yang mereka dapatkan tentunya kesejahteraan pelacur politik ini lebih baik dibandingkan pelacur dalam artian sebenarnya.
Seharusnya politisi korup itu harus malu, bertindak lacur yang lebih buruk prilakunya dibandingkan pelacur sesungguhnya.
Menanggapi akan berlangsungnya tahun politik pada kurun 2018-2019, khususnya menyambut perhelatan pesta demokrasi masyarakat Riau, ada baiknya kita harus lebih pandai memilah-milih.
Jangan hanya terjebak pada citra yang dikemas apik oleh sipengumbar janji.
Janji-janji yang mereka sampaikan sesungguhnya itu adalah hak warga negara.
Waspadai politisi pelacur yang mengancam kehidupan karena potensial koruptif.
Berani bersih, hebat!
Oleh Fazar Muhardi & Faqih Albantani
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…