RIAUBOOK.COM - Tekanan luar biasa dolar Amerika Serikat (AS) terus menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat karena dianggap membebani kehidupan masyarakat yang berada di tengah masa sulit.
Bila menghitung anjloknya rupiah dengan kenaikan upah saat ini, boleh jadi pandangan soal penguatan dolar AS membebani kehidupan rakyat tak sepenuhnya benar. Kok bisa?
Begini datanya:
Pada Agustus 1997, dolar AS berada di kisaran Rp 2.400 sampai Rp 3.200. Kala itu, UMR (Upah Minumum Regional) DKI di tetapkan Rp 172.500/bulan.
Menjelang akhir tahun, atau pada Desember 1997, rupiah mulai melemah membuat dolar sampai di posisi Rp 5.550. Pada Januari 1998, dolar langsung jatuh sampai ke level Rp 15.400.
Pada bulan Juni rupiah jatuh ke titik terendahnya terhadap dolar AS, yaitu di posisi Rp 16.800. Kala itu UMR DKI ada di angka Rp 192.000/bulan.
Artinya, dalam setahun atau pada rentang 1997-1998, UMR hanya naik 13%. Padahal, nilai dolar AS naik 600%.Â
Bagaimana dengan situasi hari ini?
Pada 20 Oktober 2014 atau bertepatan saat Jokowi dilantik sebagai Presiden, dolar AS berada di 12.030. Saat itu UMR DKI Rp 2.441.000/bulan.Â
Penguatan dolar AS tak terbendung hingga sempat menyentuh Rp 14.710 namun kemudian mereda. Pergerakan dolar AS setelahnya memang berada pada tren penguatan hingga pada 20 Juli 2018 lalu dolar AS sempat menyentuh Rp 14.555.
Bila melihat perjalanan 2014 hingga 2018, maka dolar AS sudah menguat 20,9%.
Namun, penguatan dolar AS ternyata tak seberapa dibanding kenaikan UMR DKI dalam 4 tahun terakhir sejak 2014-2018 yang mencapai 49%. Yakni Rp 2.441.000/bulan di 2014 menjadi Rp 3.648.000/bulan di 2018.
Dengan menggunakan UMR sebagai alat ukur daya beli masyarakat, justru daya beli masyarakat di tahun 2018 jauh lebih tinggi ketimbang krisis moneter 1998.
sumbet detik
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…