RIAUBOOK.COM - Seiring dengan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat terkait pelaksanaan Imunisasi Measles dan Rubella (MR), Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menjawab kehawatiran masyarakat khususnya umat Islam tentang status halal vaksin asal Serum Institute of India (SII) yang digunakan pada program imunisasi tersebut melalui Fatwa Nomor 33 Tahun 2018, sepuluh hari lalu.
Secara ketentuan hukum, MUI memutuskan kalau penggunaan Vaksin MR produk dari SII hukumnya haram karena dalam proses produksinya menggunakan bahan yang berasal dari babi.
Namun, karena kondisi keterpaksaan (dlarurat syar'iyyah), belum ditemukannya vaksin yang halal dan suci, serta adanya keterangan ahli yang kompeten dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal, maka MUI membolehkan (mubah) penggunaan vaksin tersebut dalam Imunisasi MR sampai ditemukannya vaksin yang suci dan halal.
Imunisasi Measles dan Rubella (MR) sendiri telah berlangsung sejak Agustus tahun 2017, pada tahap pertama yang dilaksanakan untuk wilayah Pulau Jawa dan Bali, Kementerian Kesehatan berhasil memberi vaksin kekebalan terhadap 34,9 juta anak usia 1-15 tahun.
Saat ini, Imunisasi MR tahap kedua tengah berlangsung mulai dari Agustus- September 2018 untuk wilayah luar Pulau Jawa, termasuk Provinsi Riau yang menargetkan imunisasi kepada 1,9 juta anak.
Karena sempat mengalami penolakan dari sejumlah kalangan, ditambah lagi dengan adanya surat permohonan penundaan imunisasi dari MUI di beberapa kabupaten/kota setempat, hingga saat ini pelaksanaan Imunisasi MR yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Riau baru mencapai kisaran angka 13 persen.
Setelah adanya penandatanganan komitmen bersama dengan MUI pada Pertemuan Advokasi, Sosialisasi dan Mobilisasi Masyarakat Dalam Rangka Pelaksanaan IPV Tingkat Provinsi Riau Tahun 2018 yang digelar di Hotel Pangeran, Selasa (28/8/208), Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Mimi Yuliani Nazir optimis pihaknya bisa melaksanakan imunisasi dengan target 95 persen sampai akhir September nanti.
Dalam pertemuan tersebut juga dibahas beberapa pertanyaan yang sempat berkembang di masyarakat, salah seorang perwakilan MUI Kabupaten Bengkalis menanyakan kepada Aminuddin Yakub yang mewakili Komisi Fatwa MUI Pusat, terkait pengumuman Fatwa nomor 33 tahun 2018 yang dinilai terlambat.
"Kenapa Fatwa ini baru dikeluarkan sekarang, sementara vaksin ini sudah di suntikan kepada anak-anak sejak tahun 2017 lalu," kata dia.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Yakub mengatakan, dalam hal pemberian sertifikasi halal terhadap suatu produk, MUI bukan hanya melihat kepada hasil akhir, MUI juga harus melihat secara mendalam mulai dari awal dan bagaimana prosesnya.
"Untuk pendaftaran sertifikat halal itu, yang mendaftarkan harus produsennya dalam hal ini adalah SII, bukan Kementerian Kesehatan atau PT. Biofarma selaku pembeli untuk pengadaan," kata dia.
Sementara, kata Yakub, pihak SII keberatan ketika diminta untuk membuka dokumen terkait penggunaan bahan yang dipakai dalam pembuatan vaksin tersebut.
Hal itu didasari karena SII khawatir kalau produk mereka ditiru oleh pihak lain, apalagi pengadaan vaksin tersebut dilakukan oleh PT. Biofarma yang notabene juga sebagai produsen obat dan menjadi kompetitor SII.
Akhirnya, kata dia, MUI tidak bisa memberikan sertifikasi halal atau haram sebelum mengetahui bahan apa yang digunakan dan bagaimana proses pembuatan dari suatu produk.
"Itu harga mati untuk menetapkan halal, tidak mungkin meraba-raba lagi, akhirnya kita melakukan audit dengan menjamin bahwa data mereka tidak akan bocor, barulah kemudian mereka bersedia," tuturnya.
Ia juga mengatakan kalau dalam penetapan fatwa tersebut tidak bisa hanya serta-merta membawa sampel produk vaksin tersebut ke laboratorium untuk dicek apakah vaksin tersebut memiliki unsur babi dan turunannya atau tidak.
Sebab, kata dia, bisa jadi dalam produk akhir produk tersebut bersih tidak mendandung unsur babi, tapi belum tentu dalam peroses pembuatannya tidak sesuai dengan ketentuan dan syariat Islam.
Untuk itu, pihaknya harus melihat secara konverhensif termasuk dari mana bahan itu diperoleh.
" Jadi dari tahun 2017 ini sudah kita dorong, tapi memang SII tidak mau membuka dokumen, Kementerian Kesehatan juga tidak bisa menyampaikan informasi apa bahan-bahan vaksin tersebut," tuturnya. (RB/Dwi)
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…