RIAUBOOK.COM - Pemerintah Provinsi Riau, Jambi, Kepulauan Riau dan Sumatera Utara berusaha mencari kesepakatan dan solusi dalam Forum Group Discustion (FGD) di Ruang Kenanga, Kantor Gubernur Riau, untuk meminimalisir konflik antar nelayan yang belakangan marak terjadi di kawasan lintas perairan Pulau Sumatra.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Utara Mulyadi Simatupang mengatakan, jumlah nelayan di wilayah Tanjung Balai yang beroperasi di perairan yang berbatas langsung dengan Provinsi Riau mencapai hampir 60 ribu nelayan.
Kata dia, hal tersebut tentunya berpengaruh besar untuk terjadinya konflik dan hal -hal yang tidak diinginkan.
"Yang ingin saya sampaikan pada hari ini, pertama untuk Pemerintah Pusat, dalam hal ini sering mengeluarkan peraturan dan surat edaran yang tidak sinkron," kata dia.
Di satu sisi, Mulyadi menuturkan, dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 71 tahun 2016 melarang penggunaan alat tangkap terlarang seperti pukat tarik atau trol, namun di sisi lain juga ada surat tentang pembinaan kapal-kapal spesifikasi dibawah 10 GT.
"Kami tidak menyalahkan aparat penegak hukum, seperti yang terjadi di Sumut, ada 11 kapal dibawah 10 GT yang disita, hal itu kemudian juga yang ditanyakan oleh nelayan, karena ada dasar surat untuk dilakukan pembinaan," ujarnya.
Dirinya juga berharap kepada masyarakat nelayan untuk tidak main hakim sendiri.
Dia menjelaskan, dalam sistem pengelolaan kelautan terdapat Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang membolehkan nelayan dari beberapa daerah bersama-sama melakukan aktivitas dalam memperoleh hasil laut.
"Contohnya ada WPPNRI 571, itu ada Aceh, Sumut, Riau, Jambi, artinya apa, di WPPNRI itu boleh orang menangkap ikan, karena itu gabungan dari beberapa provinsi," kata dia.
Kepada RiauBook.com, Asisten I Setdaprov Riau Ahmad Syah Harrofie yang pada pertemuan tersebut mewakili Gubernur Riau mengakui masih terdapat hal-hal yang dinilai kurang sesuai terkait regulasi bidang perairan dan perikanan.
"Ada regulasi yang rasanya agak aneh, jadi kewenangannya itu agak dibatasi di kabupaten kota, sementara lokusnya kan ada di kabupaten/kota," kata Ahmad Syah.
"Misalnya kewenangan pengawasan perairan, kalau dulu kan pengawasan 0-4 mil laut ada di kabupaten/kota, 4-12 mil ada di provinsi, sekarang, 0-12 ada di provinsi, jadi kalau ada masalah mereka kan lepas tangan, padahal akses pengawasan pertama itu ada di kabupaten/kota," demikian Ahmad Syah. (RB/Dwi)
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…