RIAUBOOK.COM - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Munardo menyampaikan sejumlah temuan para pakar dan peneliti di bidang kebencanaan tentang jejak gempa dan tsunami yang pernah melanda tanah air.
Pada sebuah forum penganggulan bencana di Gedung Daerah, Jalan Diponegoro, Pekanbaru, Kamis (7/2/2019) malam, lulusan Akmil tahun 1985 tersebut mengatakan bahwa gempa memiliki siklus yang dapat diprediksi.
Pria yang sebelumnya menjabat Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) itu menceritakan hasil penelitian para akademisi, mulai dari hasil temuan Alm. Prof. J. A. Katili di tahun 1970 sampai temuan terbaru para peneliti dari Universitas Syiah Kuala tentang lapisan material yang terdapat di Gua Ek Gluentie, Pantai Luh, Aceh.
"Di Palu, tahun 1927 terjadi gempa dan tsunami, kemudian terjadi lagi 40 tahun setelah itu pada 1968, pada tahun 1970 Prof. Katili menyampaikan hasil temuannya kepada publik dan menyampaikan kepada pemerintah agar Palu jangan dijadikan ibu kota Sulawesi tengah, dia mengatakan tahun 2000 akan ada gempa dan tsunami di Palu. Tapi beliau malah dimarahi oleh banyak masyarakat," kata Doni.
Namun, 18 tahun setelah tahun 2000, Doni melanjutkan, hasil riset Prof. Katili terbukti, "Kita telah melihat sendiri bagaimana dahsyatnya gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu".
"Hasil riset Prof.Katili benar, namun waktunya yang tidak akurat, sayangnya orang Palu tak lagi bisa menyampaikan terima kasih kepada Prof. Katili karena beliau telah meninggal dunia," tutur Doni.
Empat bulan sebelum terjadi peristiwa tsunami yang melanda Selat Sunda, sebut Doni, sejumlah pakar juga telah memprediksi akan timbul bencana tsunami yang diakibatkan patahnya salah satu sisi Gunung Anak Krakatau.
Namun, alat pendeteksi dini juga tidak mempu mencegah banyaknya nyawa melayang pada peristiwa tersebut.
Dikatakannya, minggu lalu Rektor Universitas Syiah Kuala, Aceh, Prof. Samsul Rizal M.Eng, bersama rombongan sempat berkunjung ke Kantor BNPB dan menjelaskan sejumlah hasil temuan dari kerja sama dengan beberapa lembaga dari dalam dan luar negeri.
Di Pantai Luh, Aceh, ada sebuah gua bernama namanya Ek Gluentie, "di situ ditemukan sebuah lapisan yang setelah diteliti memiliki usia 7500 tahun," kata Doni.
"Kemudian ada lapisan lagi yang usianya 5400 tahun, dan ada lagi lapisan yang usianya 3300 tahun artinya kelipatan 2100 tahun, selanjutnya berusia 2800 tahun dan yang terakhir lapisan yang terjadi saat tahun 2004 lalu. Ini adalah peristiwa alam yang terus berulang, ini adalah takdir, yang bisa kita lakukan adalah ikhtiar dan berdoa semoga bencana bisa kita kurangi resiko terjadinya korban, tidak terjadi di masa kita atau peristiwa itu muncul saat kita sedang siap," tuturnya.
Dirinya juga menerangkan jika saat ini tidak bisa hanya bersandar pada teknologi untuk mencegah terjadinya bencana, Jepang yang dikenal pakar dalam bidang konstruksi pun ternyata tidak mampu melindungi rakyatnya saat dihadapkan pada bencana gempa dan tsunami di Sendai pada tahun 2011 lalu.
"Jepang membangun tanggul tsunami dengan nilai mencapai Rp120 triliun, diresmikan pada tahun 2009, dua tahu setelah itu terjadi gempa di Sendai. Nyatanya tanggul itu juga roboh, tidak mampu menahan tsunami, malah korban semakin banyak," kata dia.
"Rakyat Jepang yakin Pemeritah melindungi warganya, mereka lalai dan menganggap tanggul tidak akan jebol, sekali lagi tidak ada buatan manusia yang mampu menghadapi peristiwa alam," kata Doni lagi.
Berbicara pendeteksian bencana, Doni menyebut alat deteksi dini yang dimilik Indonesia saat ini masih kurang dari kata ideal.
Meski cukup banyak, namun alat tersebut juga masih banyak yang bilang atau rusak, "sebagian besar alat itu hilang dan rusak, karena alam dan ulah manusia".
"Maka saya usul ke Presiden agar alat ini masuk sebagai objek vital negara yang harus dijaga oleh TNI. Sekarang TNI AL menjaga alat yang berada di laut. Karena kalau alat ini tidak berfungsi, konsekuensinya korban yang timbul akan lebih besar lagi, mamun demikian, kita juga harus meningkatkan kearifan lokal," tuturnya.
Untuk meminimalisir korban, Doni mengingatkan, "kalau sudah jelas ada gempa kuat lebih dari 10 detik, segera tinggalkan rumah, cari tempat yang aman di luar. Kalau gempanya mencapai 30 detik dan masih besar maka cari tempat yang tinggi dengan ketinggian 30 meter".
"Mudah-mudahan kita bisa selamat," tuturnya. (RB/Dwi)
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…