RIAUBOOK.COM - Sekelompok bocah yang harusnya mengenyam pendidikan formal di bangku Sekolah Dasar (SD), Sabtu (9/3/2019) siang terlihat saling bercengkrama dan asik bermain di antara dua lajur jalan protokol, Kota Pekanbaru. Sekujur tubuh mereka diselimuti debu, kulit mereka coklat kehitaman, wajahnya kusam, hampir semua dari mereka tak beralas kaki.
"Aku kelas 6 SD, dulu sekolah di Duri, tapi udah gak sekolah lagi, ya gak sekolah, di sini sama mamak, sama bapak," kata Alfin bermain kelereng dari batu kerikil kecil yang ia kutip di pinggir jalan bersama teman-temannya.
Berjarak setengah meter dari Alfin ada seorang gadis kecil berambut ikal, namanya Alia (11), menjadi satu-satunya anak perempuan dikelompok bermainnya saat itu.
Alia tertawa melihat Frans (12) temannya mengibarkan "Merah Putih" yang sudah tak lagi sempurna pada salah satu sudutnya, tesirat kebahagiaan di wajahnya saat Frans mmengibarkan lambang Negara Indonesia tersebut di hadapan Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC), First Recources, dan perusahaan besar lain yang berkantor di Gedung Surya Dumai Grup seberang jalan.
"Hormat garak..., tegak gerak...," kata Frans mencoba menghibur teman-temannya.
Lepas Dzuhur arus lalu litantas cukup padat, ribuan kendaraan hilir mudik dari sisi kiri, kanan, dan di atas kepala anak-anak yang sedang asik bermain di bawah kolong jembatan layang (flyover), pertigaan Jalan Jenderal Sudirman-Tuanku Tambusai itu.
Anak-anak ini tak takut atau khawatir, merasa aman bersama orang tuanya, mereka juga terlindung oleh pagar besi pembatas yang terpasang di sisi trotoar jalan.
Sudah satu minggu lebih Alfin, Alia, Frans dan 800 manusia yang terdiri dari balita, anak-anak, orang dewasa serta kaum lansia itu bermukim di bawah kolong jembatan layang tersebut.
"Di sini banyak nyamuk, hajap, kalau malam kedinginan, kami kalau makan beli sendiri," kata Nia (58) berujar tentang konisinya.
Kesan kumuh tampak jelas di area lokasi itu, mereka tidur beralaskan terpal plastik seadanya, menjemur kain dan pakaian pada pagar pembatas trotoar, tumpukan sampah tersebar di beberapa titik,kehadiran para pedagang yang menggelar dagangannya di bahu jalan turut membuat arus lalu lintas jadi semakin semeraut.
Tumpukan sampah di kolong jembatan. (Dok.RiauBook.com)
Meski hidup dengan keadaan demikan, orang-orang ini bersikukuh akan tetap bertahan sebelum pemerintah memberikan solusi atas permasalahan yang mereka hadapi.
Mereka mengaku berasal dari Desa Koto Aman, Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Datang ke Pekanbaru untuk mengadu dan mencari jalan keluar atas masalah yang dihadapi terkait sengketa lahan dengan salah satu korporasi perkebunan sawit.
Korban
Terlepas dari adanya oknum yang sengaja memanfaatkan situasi tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi, setidaknya ada ratusan anak yang telah menjadi korban kepentingan. Alfin, Alia, Frans dan teman-temanya harus menghirup polutan berahaya dari asap kendaraan bermotor dari siang hingga malam hari.
Selain itu, mereka juga harus mengorbankan waktu belajarnya di bangku sekolah karena dibawa ikut berunjuk rasa oleh orang tuanya.
"Anak seusia mereka harusnya memiliki waktu bermain dan mendapatkan jaminan untuk bisa belajar dan kehidupan yang layak, tidak berkeliaran di jalan seperti itu," kata Desi Riawati menjabat sebagai Kasi Pengaduan dan Layanan UPT Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Riau, Selasa (12/3/2019).
Anak-anak bermain di kolong jembatan. (Dok.RiauBook.com)
Desi mengatakan, seharusnya para orang tua tidak melakukan "eksploitasi" terhadap anaknya, "jangan sampai karena sesuatu hal yang ingin dicapai, mereka ingin demo misalnya, lantas mereka melibatkan anak-anak, silahkan mereka (orang tua) berunjuk rasa, berpartisipasi dalam apa saja aaal jangan membawa anak".
"Kita lihat di situ anak-anak tidak layak tidurnya, berangin-angin beberapa malam di situ," tutur Desi.
Desi mengakui, pihaknya belum sempat terjun kelapangan untuk melakukan pembinaan terhadap para orang tua di lokasi tersebut, "kedepan akan kita diskusikan sama ibu kepala dinas atau ibu Kabidnya, kita nanti akan coba turun ke tempat itu".
Anggaran Terbatas
Buramnya kejelasan akan masalah yang dihadapi masyarakat "Kampung Kolong" ini secara perlahan turut menimbulkan dampak sosial, di antaranya muncul potensi gangguan keamanan dan ketertiban umum yang suatu saat dapat terjadi.
Hingga kini, kebanyakan dari mereka memanfaatkan fasilitas Mesjid Agung Ar-Rahman yang berlokasi tak jauh dengan titik konsentrasi massa untuk kegiatan MCK (Mandi, Cuci, Kaksus).
"Kami kalau mandi di mesjid, tapi dengan orang sebanyak ini ya mandi tak mandi,"ujar Zuriati (45).
Salah seorang pengurus Mesjid Ar-Rahman, Reza menuturkan, pihak mesjid selama ini tidak keberatan dengan warga yang mamanfaatkan fasilitas mesjid untuk kebuthan MCK-nya.
"Kita tidak ada masalah dan kita tak biksa melarang karena Mesjid ini punya umat, mereka mengambil air di sini kemudian mereka bawa ke sana untuk keperluan memasak," kata Reza.
"Kalau untuk aset mesjid,di jaga oleh Satpol-PP karena pengelolaanya tanggung jawab Pemko Pekanbaru, dan area mesjid ini juga diawasi oleh CCTV, kita juga tidak punya kewenangan diluar itu kecuali ada regulasi yang mengatur," tambahnya.
Dalam permasalah sosial seperti ini, Pemerintah Provinsi Riau mengaku tak bisa berbuat banyak karena keterbatasan anggaran, "Tak ada di kita, kalau di kita (tangunggung jawab) itu orang miskin dan terlantar, bukan yang menelantarkan diri sendiri," tutur Kepala Dinas Sosial Provinsi Riau Dahrius Husin.
"Kalau mereka tak bisa balik (pulang) karena tak ada uang terus mengadu ke polisi, ha, itu datang Dinas Sosial tu, maka dikirim lah orang tu pulang," Dahrius menambahkan.
Gubri Serahkan Ke Pengadilan
Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar menilai, tuntutan penyelesaian konflik kepemilikan lahan antara masyarakat Desa Koto Aman dengan perusahaan perkebunan sawit yang mengakibatkan permasalahan sosisal tersebut akan lebih baik diselesaikan melalui jalur pengadilan.
"Saya sudah telpon yang memimpin rapat di sana (Kampar) kemarin, hari Jumat kan juga ada rapat di sini, pertama saya tanya sebenarnya seperti apa masalahnya ini, nah, dulu tahun 1994 sebenarnya tidak ada yang namanya Desa Koto Aman, yang ada itu Desa Koto Batak, HGU tahun 1994 seperti itu," kata Syamsuar.
dia melanjutkan, perwakilan perusahaan juga hadir ketika Pemerintah Kabupaten Kampar menggelar rapat dengar pendapat dalam rangka upaya penyelesaian konflik, "dia bilang (perwakilan masyarakat Desa Koto Aman) perusahaan tidak hadir".
"Perusahaan bilang, kalau masyarakat memiliki bukti dia akan ganti rugi, mana tanahnya, mana buktinya, perusahaan akan ganti rugi," ujar Syamsuar.
Bahkan, dikatakannya, Sekretaris Daerah Kabupaten Kampar juga mengajak masyarakat untuk melakukan melakukan pengukuran batas desa, namun tidak ada satupun perwakilan masyarakat yang mau.
"Inikan jadi tidak ada solusi, mereka (masyarakat) juga tak memiliki bukti administrasi yang sah. Akhirnya pemerintah daerah sana memutuskan untuk diserahkan saja ke pengadilan, ya kami pun menyerahkan ini ke pengadilan juga karena tidak ada jalan lain," ungkap Syamsuar.
"Kita kan juga tak boleh seenaknya, orang punya HGU, statusnya legal terus kita batalkan, bisa rusak investasi, lari orang semua," demikian Gubri. (RB/Dwi)
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…