RIAUBOOK.COM - Kabag Humas PTPN V Sampe Sitorus yang dihubungi terpisah sebelumnya menjelaskan, bahwa kronologi pemecatan dengan indikasi pemaksaan pemunduran diri yang dilakukan pihak perusahaan terhadap sejumlah karyawan berawal dari indikasi pencurian buah secara bersama-sama di Kebun Sei Pagar yang memasuki tahapan replanting atau penumbangan pada 2016 lalu.
Dari puluhan orang yang terlibat, lanjut dia, ada beberapa yang di pecat atau di PHK, dan ada beberapa yang mengundurkan termasuk AK Pasaribu yang ketika itu menjabat sebagai Mandor I.
Waktu itu, lanjut dia, pihak Asum perusahaan memberikan pilihan ke para karyawan yang terlibat untuk memilih, mau dipolisikan atau mengajukan surat pengunduran diri.
Tapi, kata dia, kemudian mereka memilih untuk mengundurkan diri dengan tunjangan yang telah disiapkan oleh perusahaan.
"Menurut laporannya tidak ada pemaksaan, waktu itu mereka menanyakan berapa hak yang mereka akan dapatkan jika mengundurkan diri. Dan disampaikan oleh Asum (atasan) waktu itu dan mereka menerimanya," kata dia, Selasa (26/3/2019).
Tapi beberapa bulan kemudian, lanjut Sampe, para karyawan yang telah menandatangani surat pengunduran diri datang balik dan protes karena tunjangan yang akan diberikan ternyata tidak sesuai.
Sebelumnya diketahui, bahwa yang terlibat dalam kasus pencurian buah itu melibatkan sekitar 21 orang karyawan termasuk Koperasi Karyawan (KopKar) oknum Serikat Pekerja Perkebunan (SPBun) dan petugas keamanan (PaPam), bahkan buah hasil curian itu juga ditampung oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik PTPN V. Namun mengapa hanya lima orang saja yang di PHK?
Sampe menjawab, bahwa seluruhnya sebenarnya mendapatkan sanksi tegas dari perusahaan hanya saja sesuai dengan tingkat kesalahan yang mereka lakukan.
"Asistennya saja juga kena sanksi penurunan golongan, PaPam nya juga sudah dipecat, dan sejumlah karyawan dikenakan sanksi mutasi," katanya.
Masih Tempati Rumah Dinas
Sejumlah karyawan korban dugaan paksaan pengunduran diri, AK Pasaribu dkk sejauh ini maish menempati rumah dinas karyawan di Sei Pagar dengan alasan tunjangan yang tidak sesuai belum mereka setujui.
"Kami masih menempati rumah karyawan kebun karena memang hak-hak kami belum kami terima. Kemarin mau dikasih uang senilai Rp15 juta sampai Rp40 juta sebagai tunjangan pengunduran diri, jumlah itu kami tolak karena sangat tidak sesuai," kata AK Pasaribu.
Dia jelaskan, bahwa dirinya telah bekerja di PTPN V sudah 29 tahun, dan dalam kasus pengambilan buah replanting dia hanya menerima uang senilai Rp800 ribu.
Kata dia, nilai yang ditawarkan jauh lebih kecil dibandingkan Asisten Apdeling yang menerima uang Rp1 juta tapi tidak dipecat, sementara PaPam yang di PHK malah mendapatkan tunjangan yang sesuai dengan jumlah sangat besar.
"Maka kami memutuskan menempati rumah karyawan ini karena memang hak kami belum kami terima sampai hari ini," katanya.
Sampe yang dikonfirmasi mengaku baru mengetahui hal tersebut, karena menurut aturan karyawan yang sudah di PHK atau mengundurkan diri seharusnya tidak lagi menempati rumah perusahaan.
"Nanti coba saya konfirmasi ke Asumnya. Begitu juga dengan tunjangan, harusnya itu sudah mereka terima, dan kalau tidak diterima, belum ada laporan sampai ke saya," kata Sampe.
Kemarin, Rabu (27/3/2019), sejumlah karyawan diduga korban zalim perusahaan juga telah didatangi Asum PTPN V Sei Pagar dan meminta mereka untuk segera mengambil tunjangan alakadarnya dan kemudian meninggalkan rumah perusahaan.
"Asum Syahrul Badri tadi (kemarin) datang menemui kami, dia menyuruh kami mengosongkan rumah dan disuruh mengambil hak-hak kami," kata Rahmat Saragi, korban pemecatan sepihak PTPN V.
PTPN V Bisa Dipidana
Sebelumnya Praktisi Hukum dari Universitas Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Dharma Andika Bogor, Raja Adnan mengatakan, indikasi zalim atau pemaksaan terhadap sejumlah karyawan PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V) untuk mengundurkan diri bisa dilaporkan ke aparat penegak hukum karena melanggar Pasal 368 (ayat 1).
"Tentu saja, kalau memang dipaksa, dan menandatangi dengan keterpaksaan, maka itu bisa dilaporkan sebagai tindakan pidana sesuai dengan Pasal 368 (ayat 1) dengan ancaman bidana maksimal sembilan tahun kurungan," kata Raja Adnan di Pekanbaru, Selasa (26/3/2019).
Sebelumnya, Abdul Khalid Pasaribu mantan mandor di Afdeling I, Kebun Inti Sei Pagar, Kabupaten Kampar, Riau, bersama dua rekannya mengadukan nasib setelah mendapat tekanan atau pemaksaan dari pihak oknum perusahaan untuk mengundurkan diri.
Itu sebagai dampak dari tindakan memanen buah dari kebun sawit perusahaan yang masuk tahap peremajaan (replanting) pada tahun 2016.
Terdapat puluhan karyawan PTPN V yang terlibat dalam panen ilegal itu, termasuk PaPam, KopKar, Asisten dan sejumlah pemanen dan petugas pengawasan perusahaan.
Namun perusahaan hanya memberlakukan sanksi pemberhentian paksa terhadap lima orang karyawan termasuk Abdul dan empat rekannya.
"Tindakan yang dilakukan oleh perusahaan sesungguhnya mengindikasi sejumlah hal. Seperti kondisi perusahaan yang kurang sehat," kata Adnan.
Perusahaan Tak Sehat
Dia katakan, bisa jadi perusahaan tidak sehat secara finansial sehingga mencari-cari kesalahan karyawannya untuk kemudian dipaksa mengundurkan diri agar pesangon yang diterima tidak membebani perusahaan.
Indikasi itu kata dia, muncul karena sejumlah karyawan yang dipaksa mengundurkan diri itu sudah bekerja di perusahaan selama belasan tahun bahkan ada yang sudah lebih 29 tahun.
"Masakan hanya karena tindakan pengambilan buah replanting yang nilainya tak seberapa mereka kemudian harus menerima sanksi sampai pada PHK sepihak," lanjut Adnan.
Sebelumnyan, Abdul mengakui hanya menerima uang senilai Rp800 ribu dari 8 ton buah replanting yang dijual ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Sei Pagar.
Untuk PaPam atau petugas keamanan yang menerima uang lebih besar perusahaan memberikan sanksi PHK, sementara untuk Asisten yang jabatannya lebih tinggi hanya diberikan sanksi turun golongan.
Adnan mengatakan, bahwa PHK sebagai sanksi yang diberikan perusahaan kepada PaPam sesungguhnya lebih bijak, karena yang bersangkutan akan menerima tunjangan yang sesuai.
Sementara upaya paksa pengunduran diri terhadap lima karyawan, lanjut dia, justru lebih menguntungkan perusahaan karena cost yang dikeluarkan perusahaan jadi bisa seenaknya.
Padahal, kata dia, jika dihitung sesuai dengan UU Ketenagakerjaan, maka seharusnya mereka menerima tunjangan PHK yang tidak sedikit, bahkan ratusan juta rupiah per orang.
"Sementara juga ada indikasi tebang pilih atau nepotisme yang sangan kental, ada belasan karyawan yang harusnya menerima sanksi sama justru hanya diturunkan golongan saja, termasuk asisten," kata Adnan.
Maka untuk membuka persoalan ini agar terang benderang, lanjut Adnan, sebaiknya dugaan pemaksaan penandatanganan surat pengunduran diri oleh perusahaan itu dilalaporkan ke aparat kepolisian.
"Di sana akan jelas semuanya, apa masalah sesungguhnya. Bahkan jika ada bisa ditemukan indikasi perusahaan mengarah pailit. Tidak ada yang tidak mungkin jika KKN merajalela di perusahaan, apalagi ini perusahaan BUMN," demikian Adnan.
(fzr/dwi)
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…