RIAUBOOK.COM, JAKARTA - Pihak Bank Indonesia dan Pemerintah terus berkoordinasi untuk memantau perkembangan ULN dan mengoptimalkan perannya dalam mendukung pembiayaan pembangunan, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.
Dari data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) negara yang paling banyak memberikan utang ke Indonesia adalah pertama Singapura yakni sebesar US$ 64 miliar, kemudian diikuti oleh Jepang US$ 29,01 miliar, lalu Amerika Serikat (AS) 21,3 miliar.
Kemudian berikutnya adalah negara Cina US$ 17,9 miliar, selanjutnya Hong Kong US$ 15 miliar dan negara Asia lainnya US$ 10,4 miliar.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merilis data utang pemerintah pusat per April 2019. Dalam catatan Kemenkeu utang pemerintah naik Rp 347,48 triliun dalam setahun, dari Rp 4.180,61 triliun pada April 2018 menjadi Rp 4.528,45 triliun.
Berbahayakah utang pemerintah naik hingga ratusan triliun dalam setahun? Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati peningkatan utang tersebut tergolong berbahaya karena tak diimbangi produktivitas.
"Berbahaya pasti lah karena tidak meningkat produktivitasnya," terang Enny saat berbincang dengan detikFinance, Jumat (17/5/2019).
Bukti tidak produktif tersebut menurut Enny tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5%. Sebab, ia menilai angka tersebut juga dapat diperoleh tanpa adanya penambahan utang pemerintah.
"Pertumbuhan ekonomi itu stagnan masih 5% itu ada ketidakoptimalisasi stimulan fiskal yang mendorong. Ekonomi natural dengan penduduk 260 juta jiwa juga akan tumbuh 5% dengan sendirinya," jelas Enny.
Selain itu, ia juga menyoroti realisasi utang yang meningkat paling besar digunakan untuk belanja pegawai atau barang. Padahal, untuk meningkatkan produktivitas utang sebaiknya lebih banyak digunakan untuk pembiayaan infrastruktur.
"Kita lihat utang masuk ke anggaran pemerintah, dan yang sangat signifikan bukan belanja modal atau infrastruktur tapi belanja pegawai atau barang. Kita bingungkan kan era Jokowi kan baru gaji PNS baru naik tapi porsi belanja pegawai yang signifikan dari empat tahun ini," tutur Enny.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti mengatakan pada dasarnya meningkatnya utang yang terjadi masih dalam batas wajar. Sebab telah direncanakan sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat dibayarkan.
"Utang sudah direncanakan sesuai kebutuhannya dalam APBN. Sehingga setiap pembiayaan melalui utang sudah diperhitungkan kemampuan bayarnya, jumlahnya dan juga sisi risikonya. sejauh ini, masih dalam kondisi aman," ujar Nufransa kepada detikFinance (17/5.2019).
Selain itu, pria yang akrab disapa Frans ini juga menilai batas wajar utang berdasarkan rasio terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebab, rasio utang saat ini masih berada di angka 29% jauh dari batas 60%.
"Utang sudah diatur dalam UU, di mana batas maksimal yang diperbolehkan dalam UU adalah 60% dari GDP. Sampai saat ini, utang Indonesia masih di seputaran 30% dari GDP. Jadi masih sangat jauh dari batas yang diperbolehkan," tutup dia.
Sumber detikcom
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…