Pumpunan Fazar Muhardi/RiauBook.com
DINGIN seperti pagi, matahari tertutup awan tebal yang menghitam, embun yang menetes kian deras berdentang menghantam atap rumah seperti butiran pasir yang jatuh memercik jernihnya kolam bebatuan di Pincuran Gadang.
Riang anak menikmati suasana siang yang tertiup dingin hingga mengepulkan embun membentuk seperti asap, persis awan dengan butiran air yang menguap.
Dinginnya menyentuh tubuh, seperti merasuk dan menggigit tulang, menggetarkan tubuh, mengerutkan bibir yang mulai membiru.
Ceria Bunga seperti masa kecil Melia, puteri rancak yang riang dalam dinginnya siang ditelan hujan, kehidupan alam yang mengingatkan para perantau untuk 'baliak kampuang'.
Seperti pagi, cahaya mentari siang itu, Senin (10/6/2019) membekas di wajah Bunga, adik dari Rayhan, dua bocah anak Bunda yang menikmati kolam Pincuran Gadang.
Jalur yang berliku dan menukik tajam di tepian bukit samping jurang yang juram, sejauh mata memandang begitu indah pemandangan, sebagian tertutup embun yang mengepul setelah hujan.
Tepat di bawah, di tengah-tengah sawah yang mulai menguning, kolam Pincuran Gadang terbentang, ramai bocah bergembira, berenang di tegah dinginnya udara berselimut embun bertabur hujan.
Dia mengenang masa lalu, ketika umurnya sebaya Bunga atau mungkin seusia Rayhan, sekitar 5 sampai 6 tahun, masa ketika dia berada dalam buaian orang tua yang setia.
Lebih 28 tahun yang lalu, Desa Marambuang, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar) menjadi rumah bagi ibu muda, wanita yang dulu sebaya Bunga.
Tumbuh di tengah keluarga yang sederhana, tak mematahkan semangatnya untuk meraih pendidikan di nagari urang.
Demi masa yang lalu, mengenang indahnya desa junjungan alam, dia pulang 'ka kampuang', Marambuang menyambut dengan riang meski dalam suasana yang kelam, mendung dan hujan.
'Baliak kampuang', puteri Marambuang seperti para keturunan minang lainnya, kembali ke tanah junjungan adat, seperti mengikat kaki, berpangku tangan, semua perantau pasti akan pulang.
Dia Melia, ibu muda puteri Marambuang, desa junjungan dengan alam menyegarkan hati, meneguhkan diri atas kecintaannya untuk nagari, Minang Kabau.
Seperti ribuan perantau, atau bahkan jutaan peratau minang lainnya, dia memegang teguh kalimat saku, seperti berguru dalam kerasnya alam nagari urang.
"Karantau madang di Ulu, babuah babungo balun. Marantau Bujang dahulu, di kampuang paguno balun".
Bersyukur
Bagi parantau Minang, bersyukur adalah hal yang diutamakan, kemudian menjadi pantang menyerah kerana Islam melarang umatnya untuk menyerah pada keadaan.
Jiwa juang masyarakat Islam sudah diteguhkan Rasul ketika menyebarkan ajarannya, dan inilah yang diterapkan masyarakat Minang sejak dahulu.
Seperti pepatah Minang mengatakan; "Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, syarak berkata adat memakai"
(Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, syarak berkata adat memakai)
Libur panjang Idul Fitri turut menjadi ajang kesetiaan bagi para perantau Minang untuk kembali ke kampung halaman, menunjukkan keberhasilan selama berada di rantau urang.
Para niniak mamak menggunakan ragam cara agar para perantau kembali ke kampung halaman dalam perayaan Idul Fitri yang penuh kebersamaan dan suka cita.
Salah satu upaya itu adalah pulang basamo, para perantau dari berbagai wilayah luar Sumbar biasanya melaksanakan mudik dengan beriring-iringan (konvoi) menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Sesampainya di kampuang, para perantau disambut dengan ragam acara layaknya pesta kedatangan seperti hiburan musik, pertunjukan kesenian randai di malam hari, kemudian juga melaksanakan ivent olahraga tahunan yang melibatkan muda-mudi perantau Minang.
Tidak jarang kedatangan para perantau juga membawa wisatawan atau para mantu asal berbagai daerah luar Sumbar, mereka kemudian mendatangi sejumlah tempat wisata alam, seperti Pantai Cermin di Pariaman, atau Pincuran Gadang dan Puncak Lawang di Kabupaten Agam.
Jutaan
Pemerintah Sumatera Barat memperkirakan perantau yang pulang kampung ke berbagai wilayah di Sumatera Barat untuk tahun ini (2019) mencapai jutaan orang.
Kepala Biro Kerja Sama Pembangunan dan Rantau, Luhur Budianda mengatakan, jumlah perantau Minang yang pulang kampung tahun ini masih mencapai lebih satu juta orang, memang menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
Dia katakan, penurunan ini diakibatkan melonjaknya harga tiket pesawat dan melemahnya kondisi ekonomi secara nasional.
#fzr
Golkar Riau Akan Dipimpin Seorang Pejuang, Bukan Petarung
Goresan; Nofri Andri Yulan, S.Pi (Generasi Muda Partai Golkar)1. PI (Parisman Ikhwan) didukung penuh oleh Ketua DPD I Partai Golkar…