RIAUBOOK.COM - Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani menyatakan anjuran bersabar dan saling memaafkan yang dilontarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) maupun seremoni pertemuan elite tak mampu meredam rusuh di Papua sepanjang persoalan mendasar tidak diselesaikan.
Ismail menilai, sikap pemerintah atas eskalasi rasisme terhadap orang Papua serta aksi protes di sejumlah wilayah di Bumi Cendrawasih memperlihatkan keengganan memahami masalah secara utuh dan mendasar.
"Sepanjang persoalan mendasar Papua tidak diatasi, seperti ketidakadilan politik, ekonomi, sosial, dan klaritas (kejernihan) sejarah integrasi Papua yang masih dipersoalkan sebagian warga Papua, maka potensi kekerasan, pelanggaran HAM, dan ketidakadilan akan terus dialami warga Papua," kata Ismail dalam keterangan tertulis.
Dilansir dari CNNIndonesia.com, Kamis (21/8/2019), Ismail mengatakan bahwa Jokowi harus mengurai masalah kemanusiaan dan politik warga Papua secara holistik (menyeluruh). Menurutnya, Presiden terpilih itu bisa memulai dengan membentuk dan mengutus utusan khusus Presiden ke Papua untuk membangun komunikasi konstruktif.
"Membangun sikap saling percaya dan memahami (mutual understanding) sebagai basis dialog Jakarta-Papua," ujarnya.
Ismail melanjutkan, jalan dialog akan mengurangi konflik bersenjata antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) sekaligus meletakkan warga Papua sebagai subyek utama pengutamaan keadilan pembangunan berkelanjutan.
Lebih lanjut, Ismail mengkritik langkah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto yang berencana menambah pasukan TNI/Polri. Ia menyebut rencana Wiranto itu dalah gambaran kekeliruan dalam memahami Papua, yang justru berpotensi membuat kondisi semakin tidak kondusif
Menurutnya, perspektif keamanan dan stabilitas negara yang dikedepankan pemerintah dalam merespons masalah Papua ini merupakan upaya pemantapan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan yang membatasi kebebasan warga.
"Pilihan melindungi obyek vital negara dibanding melindungi hak asasi warga Papua sama sekali tidak menunjukkan upaya pengutamaan keamanan manusia," tuturnya.
Ismail mengatakan rasisme dan stereotip pemberontak yang mengendap di kepala para pejabat Indonesia sangat destruktif, sehingga upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka pemulihan seharusnya berbasis pada keamanan manusia, baik dari segi perspektif, pendekatan maupun praksis penyikapan.
"Dalam human security (keamanan manusia), subjek atas keamanan bukan semata-mata negara (state oriented), melainkan manusia (human oriented), yang ditujukan untuk memastikan pemenuhan HAM, rasa aman dan keamanan warga Papua," ujar dia.
Sumber: CNNIndonesia.com
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…