RIAUBOOK.COM - Tidak ada yang salah dan harus dipermasalahkan terkait mutasi 500 pejabat eselon III dan IV di Pemprov Riau belum lama ini, demikian Pakar Otonomi Daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA.
Sebab, lanjut dia, tidak ada aturan yang dilanggar ataupun bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam penetapan pejabat baru tersebut.
"(Menurut saya) semuanya sudah sesuai aturan, prosedur dan mekanisme. Jadi tidak ada yang salah atau mesti dipersoalkan dengan pengangkatan pejabat eselon IV dan III di Pemerintahan Provinsi Riau," kata Djohermansyah Djohan dalam perbincangan lewat telepon dengan wartawan, Selasa (14/1/2020) petang.
Menurut Pak Djo, begitu mantan Pejabat Gubernur Riau ini akrab disapa, di satu sisi viralnya pelantikan 500 pejabat eselon IV dan III di Riau ada nilai positif untuk koreksi kebijakan.
"Tapi sayangnya tidak berdasarkan pengetahuan yang memadai tentang dunia birokrasi pemerintahan," kata mantan Dirjen Otda Kemendagri tersebut. "Bisa juga (viralnya berita mutasi pejabat Riau) kemungkinan karena efek Pilkada dan belum kunjung move on," dia menambahkan.
Dijelaskannya, pengangkatan pejabat eselon III dan IV memang tidak melalui pansel seperti eselon I dan II. Tapi tetap ada assesment dengan syarat-syarat, kompetensi, pengalaman atau jam terbang serta kemampuan manajerialnya.
"Jadi orang-orang yang akan dilantik itu ada penilaiannya. Terutama yang berperan dalam hal ini adalah BKD, Badan Kepegawaian Daerah," kata Pak Djo.
Menurut Djohermansyah, penilaian itu kalau dilakukan secara objektif, tidak melihat asal usul atau karena hubungan perkawinan, pertalian darah baik dengan pejabat BKD, Sekda maupun gubernur, tentu akan dianggap normal dan sudah sesuai aturan.
"Jadi siapapun kalau sudah memenuhi persyaratan-persyaratan secara normatif, tidak ada pelanggaran dan tidak sedang menjalani hukuman atau tidak ada catatan, maka boleh menduduki jabatan itu," kata Djohermansyah.
Apalagi sampai saat ini, sebut Djohermansyah, belum ada aturan dalam dunia pemerintahan yang mengatur tentang hubungan keluarga, pertalian darah atau kekerabatan seperti lembaga korporasi.
"Misalnya kalau di perbankan, tidak boleh suami atau isteri yang bekerja dalam unit organisasi yang sama. Nah, di dunia pemerintahan belum ada aturan itu," katanya.
Sebagai birokrat senior yang menempati banyak jabatan strategis di pemerintahan, Djohermansyah mengaku. banyak menemukan perlakuan tidak fair terhadap pejabat karir, berprestasi dan berpengalaman akibat isu nepotisme maupun politik dinasti.
Misalnya, kata dia, tentang seorang asisten I Bidang Pemerintahan di Sultra yang disorot publik, sementara hasil seleksi yang dilakukan tim pansel menempatkannya di urutan pertama dari tiga calon Sekdaprov setempat.
"Ada hal yang harus kita maklumi bahwa orang yang sudah berkarir di birokrasi, jangan diperlakukan tidak adil ketika ada kakak atau saudaranya menjadi pejaba politik seperti gubernur, bupati atau walikota. Mesti dilihat secara baik dan cermat sehingga fair menilainya. Jangan langsung dicap sebagai nepotisme," kata Djohermansyah mengingatkan.
Nepotisme sendiri beda dengan politik dinasti yang kini banyak dialamatkan kepada Gubernur Syamsuar maupun Sekdaprov Riau Yan Prana Jaya.
Menurut Pak Djo, politik dinasti itu berkaitan dengan seorang gubernur, bupati maupun wali kota setelah dua kali menjabat kemudian "mewariskan" jabatannya kepada anaknya yang baru tamat kuliah.
"Atau isterinya yang tidak jelas sekolahnya, tiba-tiba dari ketua tim PKK lalu maju menggantikan posisinya sebagai gubernur, bupati atau wali kota. Itu patut dipersoalkan," kata Djohermansyah Djohan. (ist)
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…