'BERGEN kan men zien, maar het recht kan men niet zien', demikian LJ Van Apeloorn (1954) yang mengumpamakan hukum itu 'abstrak', seperti gunung-gunung dapat dilihat, tetapi hukum tidak dapat dilihat.
Tidak dikandung maksud untuk membedah hukum secara holistik. Itu tidak mungkin dilakukan di atas kertas beberapa lembar ini. Yang dibedah hanyalah hukum pidana; itupun dari perspektif kriminologi dan viktimologi.
Pernah ditulis oleh Vrij, Guru Besar Hukum Pidana Belanda (tahun lupa), bahwa "De kriminologie riep het strafrecht tot de werkelijkheid" (Kriminologi menyadarkan hukum pidana akan kenyataan yang ada).
Hal inipun dilakukan dalam tulisan ini dalam segenggam dari perspektif kriminologi dan viktimologi dalam konteks implementasi.
Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga runtuhnya Orde Baru yang diperjuangkan oleh para mahasiswa, dalam garis besar dalam segenggam, hukum pidana dalam implementasinya, untuk meminjam lagi ungkapan Van Apeldoorn (1954) ialah "Wanneer wij het recht zo zien: als ordening der menselijke levensverhoudingen, dan krijgen ook de dode wetsartikelen voor ons een andere betekenis" (Apabila kami melihat hukum demikian: sebagai penataan dari hubungan kehidupan kemanusiaan, maka juga pasal-pasal mati undang-undang yang kita dapati mempunyai arti yang lain).
Tidak dikandung maksud untuk mengangkat dan membedah kembali, apalagi menggali pengalaman-pengalaman yang menyedihkan, yang merisaukan hati dan pikiran pada waktu itu, yang bukan saja memperkosa kebenaran dan keadilan, tetapi juga HAM seolah-olah di-"desavoueer" atau tidak diakui.
Untuk itu bertalian dengan implementasi hukum, juga yang dilakukan di dan oleh pengadilan, pada waktu itu saya menggunakan ungkapan "power by remote control".
Sampai pada suatu tahap dan aras tertentu, hal itu yaitu pelanggaran HAM masih berlaku dan dengan frekuensi yang menakjubkan.
Mustahil alat-alat negara dan aparat penegak hukum tidak tahu, apalagi presiden di masa pemerintahan lalu. Kalau pelanggaran HAM di Miami, Amerika Serikat direspon oleh kepala negara republik ini dengan wawancara di halaman istana negara demi konsumsi politik dalam negeri, maka ibarat pepatah: "kuman di seberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tidak tampak". Ini yang disebut politik pencitraan yang munafik alias mencla-mencle.
Bahkan kasus HAM yang sudah "in kracht van gewijsde" oleh Mahkamah Agung RI tidak digubris oleh presiden di pemerintahan masa lalu, sebagai "commander in chief RI".
Secara menyolok meskipun KPK telah membantai orang-orang terhormat di jajaran pemerintahan, di Senayan sampai di daerah-daerah luar Jawa dan disiarkan oleh semua media pers, masih belum tampak juga bahwa fenomena korupsi itu telah berakhir atau selesai.
Kata orang Negeri Kincir Angin: "voor hoe lang nog!" (masih berapa lama lagi), meskipun disadari bahwa itu baru puncak gunung es. Sudah demikian parahkah mental dan rusaknya budaya bangsa ini ?
"Meski Bergaji Besar Pegawai Tetap Korupsi". Jadi inikah "mafia negara" atau "negara mafia".
Dan Presiden-presiden setelah Soeharto lebih banyak "mendandani" diri dan kelompoknya, belum tampak ada gebrakan yang keras dan tegas terhadap korupsi.
"Shamed By You". Apakah ini sebagai "Blunder sepuluh syarat keramat", entahlah!
Oleh Prof JE Sahetapy
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…