RIAUBOOK.COM - Sejak larangan impor minyak goreng dan turunannya oleh Presiden Jokowi, terjadi fenomena unik pada industri kelapa sawit dalam dua minggu terakhir, bahkan telah menjadi rekor dunia baru.
Pertama rekor dari segi kenaikan harga CPO dunia yang begitu tinggi dan rekor juga dari segi anjloknya harga TBS kelapa sawit petani.
Pemerintah Indonesia saat ini menghadapi tantangan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri pasca pelarangan ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng lainnya.
Tentu semua ini sudah diperhitungkan pemerintah, namun yang sangat disayangkan adalah kebijakan Presiden RI tersebut tidak cepat diantisipasi potensi dampak negatifnya ke petani sawit mandiri/rakyat melalui penguatan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 tahun 2018 tentang tatacara pedoman penetapan harga TBS petani sawit.
Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Dr Gulat ME Manurung mengatakan bahwa APKASINDO telah melakukan kajian dan analisa tentang seberapa efektif peraturan gubernur (Pergub) sebagai turunan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tataniaga Tandan Buah Segar (TBS) Petani di tengah turbulensi dampak pelarangan ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng lainnya.
"Sesungguhnya Permentan 1 Tahun 2018 tersebut sangat dahsyat dan kuat menjaga kenormalan harga TBS kelapa sawit petani, jika kementerian terkait langsung mengantisipasi pasca Presiden Jokowi menyampaikan kebijakannya. Tapi sayang hal itu terabaikan," kata Gulat kepada pers, Kamis (5/5/2022).
Diungkapkannya, untuk membuktikan betapa tidak berdayanya Permentan 01 Tahun 2018 tersebut, dapat dilihat berdasarkan laporan Posko Pengaduan APKASINDO terhadap kecurangan harga TBS dari 8 provinsi di Indonesia dua minggu terakhir, didapatkan harga rerata TBS berdasarkan penetapan harga Dinas Pertanian/Perkebunan Provinsi, yakni Rp3.814 per kg TBS.
Sedangkan harga rerata dibeli Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Rp1.569 per kg TBS dan untuk provinsi tanpa pergub dibeli hanya Rp1.300 per kg TBS.
"Dari ini dapat dikatakan bahwa Permentan No. 1 Tahun 2018 dan Pergub Tataniaga TBS di delapan provinsi dan terakhir surat edaran Dirjen Perkebunan Nomor 165 Tahun 2022 praktis tidak dipedulikan oleh semua PKS (pabrik kelapa sawit) dan industri sawit lainnya," ujar Gulat.
Ditambahkannya, khusus untuk provinsi yang sudah memiliki Pergub Tataniaga TBS, di mana penurunan harga TBS per tanggal 23-30 April sebesar 58,87%.
Hal yang lebih parah adalah provinsi yang belum memiliki Pergub Tataniaga TBS, di mana penurunan harga TBS-nya anjlok sampai 65,45 persen. Fenomena ini juga ternyata dimanfaatkan oleh PKS menaikkan potongan timbangan yang dalam Permentan 01 tahun 2018 diharamkan.
"Ya benar, pasca pidato Presiden Jokowi 22 April, potongan timbangan di PKS naik hampir 3 kali lipat. Misalnya jika petani A ke PKS menjual TBS nya Rp1.000 per kg, jika potongan timbanganya 10 persen, maka yang dibayar oleh PKS adalah hanya Rp900/kg.
Tentu ini semakin membuat petani merugi dua kali, pertama harga yang anjlok dan kedua potongan timbangan di PKS. Pertanyaan yang cukup mendasar bagi kami petani sawit adalah, siapa yang melindungi kami?" tanya Gulat.
Petani Dusun Bokor Desa Air Duren Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka sedang memanen TBS kelapa sawit.Â
Dilanjutkannya, seharusnya Permentan No.01 Tahun 2018, namun ke mana peran menteri-menteri terkait untuk membela nasib petani. Perlu diketahui bahwa patokan dari harga TBS pekebun adalah tender CPO di KPBN dan selanjutnya patokan harga CPO di KPBN adalah harga CPO internasional.
"Semua orang tau bahwa harga CPO saat ini sedang naik, seharusnya TBS petani juga naik, jika pun turun akibat larangan ekspor harusnya harga TBS kami dibeli PKS tidak kurang dari Rp3.800/kg. Wayan Supadno (biasa dipanggil Pak Tani), mengatakan bahwa di Malaysia harga TBS petani sudah mencapi Rp5.000/kg karena patokan mereka adalah harga CPO internasional saat ini Rp23.900/kg, mengapa justru sebaliknya dengan harga TBS petani sawit di Indonesia malah anjlok," imbuh Gulat.
Dijelaskannya, bahwa jika larangan ekspor CPO, Refined Bleached and Deodorized Palm Oil (RBD Palm Oil), Refined Bleached and Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein), dan Used Cooking Oil (UCO) adalah alasan menjatuhkan harga TBS petani, bukankah produk TBS petani bisa dialihkan dalam bentuk lain, seperti bahan baku oleokimia, biodisel, refined palm oil, crude PKO, refined PKO dan banyak produk lainnya.
"Jika para perusahaan hilir (refinery) mengalihkan bahan baku CPO yang seharusnya diperuntukkan ke jenis yang dilarang oleh presiden, bukan kah ketika perusahaan refinery ini mengekspor (di luar yang dilarang) justru mendapatkan harga yang cukup tinggi saat ini dipasar internasional?" tanya Gulat.
Ditegaskannya, perlu diketahui bahwa jika alasan larangan ekspor CPO tersebut adalah alasan menjatuhkan harga TBS petani, dari data diketahui bahwa ekspor CPO Indonesia adalah sangat kecil, hanya 7,27 persen dari total ekspor.
"Lalu apa alasan dari perusahaan PKS membeli TBS petani dengan harga yang sangat murah. Sebagai pembanding adalah, PKS milik Petani sawit (saat ini baru ada 1 PKS) di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan, tetap masih bertahan membeli harga TBS petani dengan harga sesuai Dinas Perkebunan Kalimantan Selatan, yakni Rp3.769 per kg, jikapun ada penurunan masih pada batas normal yaitu antara Rp100-300/kg saha.
Loh kok bisa? Jawabannya karena memang CPO mereka masih dibeli dengan harga Rp16.000/kg sehingga penurunan harga CPO dari Rp17.000 sebelum tanggal 22 April, idealnya hanya menurunkan Rp300/kg TBS kami petani, itu sudah ada rumusnya, siapa saja bisa menghitungnya. Perlu dicatat harga CPO internasional saat ini adalah Rp23.900/kg, tentu jika patokan harga CPO sebelum tanggal 22 April adalah Rp17.000/kg dan harga TBS saat itu Rp3.950/kg, tentu dapat kita hitung bahwa sekalipun dalam kondisi pelarangan ekspor, idealnya harga TBS petani minggu ini adalah minimum Rp5.500/kg. Aamiin, semoga jadi," harap Gulat.
Diungkapkannya, para petani sawit pada 10 hari terakhir sudah membayar dengan sangat mahal keterlambatan kementerian terkait mengantisipasi dampak pelarangan ekspor CPO dan 3 produk lainnya. Untuk itu kepada korporasi sawit, kami petani sawit mendesak supaya segera memenuhi perintah dari Presiden RI Jokowi, yaitu mencukupi kebutuhan domestic MGS.
"Kepada pemerintah, kami petani sawit berharap, pertama pertegas wibawa pemerintah melalui penegasan penerapan Permentan No. 1 tahun 2018 dan jika PKS tidak melaksanakannya, dipidana saja PKS yang membangkang, karena setiap produk regulasi negara pasti ada konsukuensi hukumnya," kata Gulat.
Dilanjutkannya, kedua dukung petani sawit membangun Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dan Pabrik Minyak Goreng Sawit (MGS) melalui dana pungutan ekspor sawit di BPDPKS, sehingga hilirisasi bukan hanya milik korporasi saja, supaya kedepannya kejadian seperti saat ini tidak bersifat musiman.
"Ketiga, pemerintah harus segera membangun Bulog CPO. Bulog ini akan membeli CPO petani melalui pola tumpang olah, sampai saatnya petani memiliki PKS," ujar Gulat.
Diakuinya, kami petani sawit akan tetap kuat dan petarung, sebagai mana nasehat dari Dewan Pembina Dr Bayu Krisnamurthi "Petani sawit Indonesia itu petani-petani tangguh, bukan petani kaleng-kaleng, dalam siklus hidup pohon sawit yang panjang sudah alami naik turun, rejeki dan kesulitan yang silih berganti, kesulitan inipun akan bisa dilewati".
Dan semangat kami petani sawit digenapkan melalui nasehat Dewan Pengawas APKASINDO Prof Agus Pakpahan, "Engkau Elang, Bukan Bebek, itulah petani sawit Indonesia".
Sumber Bangkapos
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…