RIAUBOOK.COM - Terungkapnya kasus dugaan jual beli penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh oknum pejabat di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mendapat sorotan berbagai kelompok aktivis, seperti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).
Tahun-tahun sebelumnya, FITRA juga telah mencurigai pemberian penilaian WTP terhadap Pemerintah Provinsi Riau yang selama dua tahun beruntun menerima penilaian itu dengan barometer yang dianggap tidak masuk akal.
"Hasil Audit Badan Pemeriksaaan (BPK) tahun 2014 menunjukan ketidakpatuhan Pemerintah Provinsi Riau terhadap peraturan perundang-undangan berdampak pada kerugian Negara sebesar Rp2,3 triliun akibat dari 25 temuan BPK.," kata Koordinator Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau, Usman lewat pesan elektronik yang diterima RiauBook.com.
Tahun 2014, sistem pemerintahan Pemprov Riau bisa dikatakan tidak baik karena saat itu Gubernur Riau Annas Maamun yang baru dilantik mendapat sorotan hukum hingga akhirnya terjerat kasus korupsi.
Peralihan kekuasaan pun terjadi, saat itu Arsyadjuliandi Rachman yang merupakan wakil Annas dilantik untuk menjalankan roda pemerintahan sementara, sebelum kemudian akhirnya definitif.
FITRA yang menyorot penilaian WTP oleh BPK waktu itu mengungkap, bahwa temuan dugaan tidak efektifnya penggunaan APBD sebesar lebih Rp2,2 triliun telah menimbulkan adanya potensi kerugian sebesar Rp69,6 miliar, itu akibat dari 20 temuan.
Selain itu, adanya penyimpangan administrasi yang berdampak pada kerugian negara sebesar Rp2,2 triliun akibat dari 5 temuan.
Selanjutnya, kata Usman, BPK juga melakukan audit kepatuhan terhadap 11 pemerintah kabupaten/kota se- Provinsi Riau kecuali Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), ditemukan senilai Rp497,1 miliar akibat dari 107 temuan.
"Dari angka itu, potensi kerugian negara sebesar Rp293,3 miliar dari 71 temuan, kemudian adanya penyimpangan administrasi sebesar Rp163,4 miliar akibat dari 17 temuan. Selain itu, adanya kekurangan penerimaan sebesar Rp44,9 miliar dari 19 temuan," katanya.
Akumulasi dampak kerugian negara yang disumbangkan Pemerintah Provinsi Riau dan kabupaten/kota se- Riau sebesar Rp2,8 triliun akibat dari 132 temuan BPK.
Angka itu menurutnya menunjukan potensi kerugian negara sebesar Rp362,9 miliar akibat dari 92 temuan BPK. Selain itu, ada kekurangan penerimaan mencapai Rp44,9 miliar dengan jumlah persoalan sebanyak 19 temuan dan paling memprihatinkan atas penyimpangan administrasi senilai Rp2,4 triliun dari 92 temuan BPK.
Persoalan ketidakpatuhan berdampak pada kerugian negara paling besar disumbangkan Pemerintah Provinsi Riau sebesar 82 persen, kemudian pemerintah kabupaten/kota lainnya sebesar 18 persen, dengan rincian Kabupaten Bengkalis dan Inhil paling tertinggi menyumbangkan kerugian negara, masing-masing sebesar Rp136,5 miliar dan Rp121,4 miliar.
Namun dari hasil penelusuran RiauBook.com, Bengkalis pada penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2014 justru juga mendapatkan penilaian WTP, beruntun juga setelah tahun 2013.
Begitu juga dengan Pemkab Inhil, setelah menggandeng BPK RI untuk pendampingan juga menerima penilaian WTP pada laporan tahun 2014.
Kemudian Kabupaten Siak yang diindikasi telah merugikan negara sebesar Rp56,6 miliar, justru juga menerima penilaian yang wajar tanpa pengecualian, penilaian ini diraih selama 4 tahun beruntun.
Hanya Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) juga menurut FITRA ditahun 2014 terindikasi merugikan negara sebesar Rp45,1 miliar dan akhirnya mendapat penilaian wajar dengan pengecualian.
Untuk Pemda Rokan Hulu (Rohul), ditahun 2014 diduga mendatangkan kerugian sebesar Rp46,7 miliar, Pelalawan sebesar Rp35,1 miliar dan Kota Pekanbaru sebesar Rp28,5 miliar.
Namun dua daerah yakni Rohul dan Pelalawan kembali menerima penilaian WTP, hanya Pekanbaru yang dianggap tak becus dalam mengelola keuangan hingga diberi WDP.
Selanjutnya yakni Kabupaten Kepulauan Meranti yang diklaim telah merugikan negara sebesar Rp15,1 miliar, Kuansing sebesar Rp9,7 miliar, selanjutnya Kota Dumai dan Kabupaten Kampar paling rendah mengalami kerugian dengan masing-masing sebesar sebesar Rp3,7 miliar dan Rp3,1 miliar.
Meski dinilai merugikan negara, Pemkab Meranti berhasil meraih WTP dalam tiga tahun beruntun, 2013-2015, sementara Kuantan Singingi juga mendapat penilaian WTP bahkan sejak 2011 hingga 2015.
Selanjutkan Dumai dan Kampar juga sama, kedua daerah ini telah mengunci penilaian WTP dari BPK pada 2014 meski ada temuan pengelolaan APBD.
Penilaian ditahun 2015 juga tidak jauh berbeda, meski banyak temuan kejanggalan, BPK RI masih memberikan penilaian WTP untuk Pemprov Riau dan hampir seluruh daerah kabupaten/kota di Riau.
Sementara penilaian ditahun 2016 yang akan diberikan tahun ini, sejumlah daerah di Riau masih menargetkan WTP, hingga kemudian terungkap dugaan suap atas penilaian yang janggal itu.
Tanda Lemahnya Kinerja
Menurut Koordinator FITRA, Usman, banyaknya temuan BPK menandakan bahwa lemahnya kinerja pemerintah daerah dalam tata kelola keuangan. Untuk Bengkalis, Inhil, Meranti dan Pelalawan masing-masing terdapat 12 temuan, Kota Dumai dengan 10 temuan, Inhu, Siak, Kuansing dan Kampar masing-masing dengan 8 temuan dan Kabupaten Rohul dengan 7 temuan.
"Atas dasar temuan BPK pada tahun 2014 terhadap pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota se- Riau, BPK RI tetap memberikan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sehingga atas rekomendasi yang diberikan seakan tidak menjadi catatan buruk terhadap kinerja pemerintah daerah dan hanya Kota Dumai, Kota Pekanbaru, Inhil, Inhu dan Kampar mendapatkan penilaian Wajar Dengan Pengecualian (WDP)," katanya.
Terhadap pemerintah daerah berdampak merugikan negara, kata dia menandakan bahwa kinerja pemerintah daerah sangat buruk, beberapa persoalan menjadi temuan BPK seperti; kegiatan pemerintah yang tidak bisa dipertanggung jawabkan/fiktif, kelebihan bayar pada setiap kegiatan dan kekurangan volume atas pengerjaaan fisik, sisa kegiatan terlambat disetorkan.
Kemudian, lanjut dia, kegiatan yang belum dipertanggung jawabkan dan potensi penerimaan yang tidak dibuat payung hukum serta bantuan hibah secara berturut-turut dalam 3 tahunan.
Akan tetapi, katanya, sampai saat ini atas kesalahan tersebut belum dilakukan perbaikan oleh pemerintah daerah, tampak pada postur anggaran tahun 2015 yang hampir sama dengan tahun sebelumnya, sangat berpotensi mengalami kerugian negara.
Namun ditahun 2015, masih banyak daerah yang mendapatkan WTP.
Selain itu, lanjutnya, temuan BPK yang paling mengejutkan yaitu hampir seluruh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota ditemukan permasalahan pada sektor hibah yang berpotensi mengalami kerugian sebesar Rp195,8 miliar, kecuali Kabupaten Kuansing tidak ditemukan persoalan hibah.
"Angka itu sudah termasuk dalam total Rp2,8 Triliun ketidakpatuhan terhadap Undang-undang," katanya.
Berdasarkah catatan BPK dalam dua tahun yakni 2013-2014 atas kesalahan terhadap tata kelola keuangan, kata Usman juga ditemukan berulangkali seperti persoalan hibah, artinya pemerintah tidak pernah mendapat sanksi tegas dan sama sekali tidak mematuhi apa yang menjadi catatan BPK. Sehingga kalimat penjelas yang diberikan BPK tidak menjadi acuan pemerintah daerah untuk melakukan perbaikan.
"FITRA membuat dan menyampaikan kajian untuk keperluan transparansi dan akuntabilitas publik," katanya. (RB/fzr)
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…