RIAUBOOK.COM - Sejak berabad-abad lalu kuda memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Umumnya, hewan tangguh berkaki emapat tersebut kerap dijadikan tunggangan dalam pertempuran sebelum era perang moderen.
Hingga abad ke-20, kuda juga masih dimanfaatkan tenaganya sebagai sarana transportasi, baik untuk mengangkut orang maupun barang.
Mungkin tak banyak yang tahu, selain mumpuni untuk mengakses medan berat, kuda juga memiliki insting luar biasa untuk mengenal rute saat dibawa menjelajah berbagai wilayah. Tak ayal, hingga saat ini kuda masih digunakan oleh berbagai kesatuan militer di penjuru dunia.
Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri bahkan sempat mencatatkan dalam sebuah buku, kuda memiliki daya jelajah serta daya kenal medan yang sangat membantunya saat ditugaskan melakukan observasi untuk penyiapan lokasi sebelum pelaksanaan oprasi khusus di daerah Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur yang secara adminitratif kini berbatasan langsung dengan Timor Leste.
Dilansir RiauBook.com dalam buku berjudul "Timor Timur The Untold Story" Sabtu (31/9/2019), mantan Panglima Penguasa Darurat Militer Timor-Timor (September-Nopember 1999) itu mengungkapkan pengalamannya dengan kuda, kala itu ia masih menjabat sebagai Komandan Koramil Atapupu, jajaran Kodim Atambua.
"Saat itu Komandan Kodim dijabat Letkol Syarif, asal Cirebon, Jawa Barat. Dalam briefing pagi ia menyampaikan informasi penting. Kodim Atambua mendapat peritah dari Kodam Udayana untuk mempersiapkan daerah persiapan yang akan dipakai oleh Tim Kopasshanda (Kopassus) sebelum memasuki Timor Portugis untuk melaksnakan operasi khusus," tuturnya.
Karena keberadaan satuan khusus yang akan melakukan opesi tersebut harus benar-benar dirahasiakan dan sangat tertutup bagi masyarakat umum, kata Kiki, ia diperintahkan untuk mencari tempat khusus yang jauh dari akses masyarakat sekitar.
"Maka dipilihlah kawasan hutan di daerah Tasifeto Timur, persisnya di sebelah Tenggara Atambua. Kawasan itu merupakan sebuah kecamatan yang meliputi juga daerah Motaain, Atapupu, dan Silawan. Ibu kota kecamatanya di Waedomo. Komandan Koramil yang membawahi wilayah-wilayah itu menugaskan saya untuk meninjau lokasi. Ditegaskan pula agar saya menjaga kerahasiaan selama peninjauan itu," terang Kiki dalam tulisannya.
Ungkapnya, saat itu ia hanya boleh membawa dua orang anak buah untuk menjelajah kawasan hutan yang masih cukup lebat di kawasan terebut. "Masyarakat dan staf kecamatan setempat tidak diizinkan ikut. Kami hanya mengandalkan peta untuk mencapai tempat itu karena kedua anak buah saya juga tidak mengenal kondisi geografis daerah itu," tuturnya.
Sebelum menlaksanakan tugas, terang Kiki, ia juga lebih dulu menggali informasi dari Camat setempat, namanya Palianu Asa. "Jika berjalan kaki, perjalanan ke lokasi hutan itu biasanya ditempuh masyarakat Waedomu dalam waktu tiga hingga empat jam. kami harus bersiap-siap menginap di sana dan itu tentu merepotkan serta membuang-buang waktu," kata dia.
"Akhirnya saya putuskan untuk meminjam tiga ekor kuda dari masyarakat setempat agar bisa kami kembali pada hari yang sama," tambahnya.
Kiki bercerita, saat itu ia bersama dua orang anak buahnya berangkat pada pagi hari sekitar pukul 8.00 WITA dan tiba di lokasi pada pukul 11.00 WITA.
"Perjalanan kami cukup lama karena beberapa kali berhenti untuk melakukan orientasi medan agar tidak nyasar dan juga harus menerobos berbagai semak dan pepohonan lebat," ujarnya.
Dari sisi kerahasiaan sebagaimana perintah, kata Kiki, lokasi tersebut cocok. "Letaknya jauh dari aktivitas masyarakat. Sehingga kerahasiaan Tim Flamboyan dapat dirahasiakan dan dijaga,"terangnya.
"Namun posisinya masih terlalu jauh dari perbatasan Indonesia-Timor Portugis menimbulkan kesulitan tersendiri. Mengingat mobilitas Tim Kopasshanda mengarah ke perbatasan, tentu akan sulit bagi tim untuk bermarkas di sana karena mesti bolak-balik ke perbatasan dengan berjalan kaki saja,"kat adia lagi.
Satu sisi, terangnya, kondisi hutan yang masih cukup lebat akan memudahkan opreasi. Setelah berdiskusi singkat mengenai berbagai pertimbangan Kiki dan anak buahnya memutuskan kembali ke Waedomo.
Namun pengalaman unik terjadi ketika mereka kembali dari hutan itu, baru beberapa menit dari lokasi, Kiki bserta anak buahnya nyasar dan benar-benar tidak bisa menentukan arah ke perkampungan.
Di tengah kebingungan, lanjut Kiki, salah seorang anak buahnya, Kopral Lulu, prajurit asal Pulau Sabu, Timor, memberi usulan untuk menyerahakan arah kepada kuda.
"Pak, sebaiknya tidak usah kendalikan kuda. Biarkan saja kuda berjalan sendiri," kata Kiki menirukan usulan sang Kopral.
"Tanpa menanyakan maksudnya, saya lalu membiarkan kuda berjalan menelusuri semak dan pepohonan hutan. Benar, tak lama berselang, saya pelan-peln mengenali keadaan. Ternyata kami sedang meyusuri jalur kembali yang kami lewati pada pagi harinya. Saya akhirnya mengerti, ternyata kuda memiliki daya kenal medan yang tinggi secara alami," tuturnya.
Meski ditinggal atau terpisah di wilayah yang tidak dikenal, kata Kiki, ternyata kuda mampu kembali bertemu tuannya.
"Pilihan untuk menggunakan kuda, benar-benar membantu perjalanan kami kala itu. hari beranjak gelap ketika kami tiba di Waedomo, dan kami memutuskan bermalam di sana sebelum ke Markas Kodim Atambua untuk melapor," tutur Kiki. (RB)
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…