BERJALAN pun tertatih-tatih, raut wajahnya lusu menahan perih, kerut keningnya bertambah setiap hari.
Pagi ketika adzan dini hari berkumandang, pria renta itu terbangun dari tidurnya, meraba tangan mencari pegangan untuk berjalan menuju ruang pemandian membasuh tangan, muka kaki dan lengan.
Usai itu, dia menjangkau kain sarung dan sajadah yang terlipat di atas tumpukan kain, mengikat sarung dilingkar pinggangnya dan membentangkan sejadah menghadap kiblat.
"Allah hu Akbar," kalimat itu terdengar pelan, terus dilanjutkan hingga rakaat dua dengan diakhiri doa, terpaku dia menundukkan kepala diatas telapak tangan yang membentang ke atas.
Sudah lebih dua pekan, Ayah tak lagi membuka pintu, tak lagi menjemur tubuhnya, setelah sinar mentari pagi yang sehat terhalang jerebu (asap) pekat dampak dari kebakaran lahan (karla) di Riau.
Lebih setahun kebiasaan menjemur diri dipagi hari dilakukannya atas anjuran dokter spesialis paru yang memvonisnya menderita kanker.
Namun cemaran jerebu kian parah, menghalangi cahaya dan panas mentari sejak dua pekan terakhir, membuat Ayah harus rela terkurung dalam rumah yang sesak, menambah kekhawatiran kondisi kesehatannya.
Kemarin, Kamis 19 September 2019, kabar tak baik datang dari ibu, Ayah kesulitan menekukkan kaki dan merasakan sesak yang luar biasa.
Kepanikan membayangi anak-anaknya yang berada jauh; "Syukur Ayah ternyata dapat berjalan kembali, nafasnya kembali normal, dan ibu bersahaja mendampingi," kata Azhar, anak keempat dari Ayah.
Kekhawatiran belum lagi lepas, jerebu masih 'mencengkram' hari-hari Ayah, dia seperti hidup di kolong jerebu yang menakutkan.
Dampak Jerebu
Ayah, adalah satu dari ratusan atau bahkan ribuan penderita kanker paru yang kini hidup dalam kesengsaraan di kolong jerebu.
Tak banyak yang tahu, bahwa dampak bencana kabut asap yang melanda sejumlah kawasan di Sumatera dan Kalimantan ternyata menyimpan ancaman kesehatan yang mengerikan.
Lima tahun lalu (2014) ketika bencana asap terjadi di Sumatera khususnya Riau dan Kalimantan, ahli sudah memperkirakan terjadinya ledakan kasus penyakit paru berat di kawasan Riau dan sekitarnya akibat kabut asap yang terjadi setiap tahun, bahkan bisa beberapa kali per tahun.
Tidak hanya sesak nafas, penyakit yang kemungkinan besar muncul adalah bronkhitis akut, serta Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang bisa mengakibatkan gagal nafas dan juga kanker paru, menurut Dr. Azizman Saad, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
"Jadi dampaknya setelah 10 tahun ke depan, dalam jangka panjang, masyarakat Riau ini akan banyak yang PPOK, Penyakit Paru Obstruktif Kronik, dan menderita kanker paru. Dan itu terutama pada warga berusia di atas 40 tahun dan para manula, sedangkan pada anak-anak akan menyebabkan radang paru, bronkhitis, pneumonia yang bisa menyebabkan kematian," demikian Azizman.
Ia menambahkan, sulit sekali mencegah ancaman penyakit seperti kanker paru di masa depan, karena asap ini memiliki partikel yang sangat kecil.
Masker yang biasa dipakai masyarakat tidak efektif, karena partikel-partikel ini masih bisa melewati pori-porinya, ujarnya, sedangkan masker yang bisa seratus persen menahan partikel asap harganya tidak murah.
Dalam banyak kasus, kata Azizman, satu-satunya rekomendasi yang diberikan bagi kelompok masyarakat ini hanya meninggalkan Riau untuk sementara waktu.
"Sekarang penyakit PPOK itu penyebab kematian nomor enam di Indonesia. Sedangkan bagi kami di Riau, dalam 10 penyakit terbanyak penyebab kematian, PPOK ada di urutan nomor tiga.
Nanti, dalam 10 tahun ke depan mungkin akan menjadi penyakit nomor satu terbanyak sebagai penyebab kematian," lanjut dia.
Oleh Fazar Muhardi
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…