RIAUBOOK.COM - Penangguhan dana bantuan senilai ratusan juta dolar dari Amerika Serikat (AS) membuat kondisi keuangan Palestina berada diambang kehancuran.
Hal ini bermula dari hubungan antar kedua negara yang kian memanas, mencapai puncaknya setelah AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaanya ke sana.
Palestina yang merespon keputusan Presiden AS, Donald Trump dengan mengakhiri hubungan diplomatiknya dengan negeri "super power" tersebut pun harus menanggung konsekuensi tekanan keuangan.
Gubernur Otoritas Moneter (PMA) Palestina, Azzam Sahwa mengatakan, tindakan AS yang menghentikan aliran dana bantuannya itu memicu peningkatan utang Palestina menjadi US$ 3 miliar dan menyebabkan kontraksi parah secara perekonomian senilai US$ 13 miliar.
"Kami sekarang sedang melalui titik kritis," kata Shawwa seperti dilansir dari liputan6.com mengutip Al Jazeera, Kamis (20/6/2019).
Otoritas Palestina (PA) yang didukung oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas, kini tengah menjalankan pemerintahannya dengan segala keterbatasan sendiri di wilayah Tepi Barat.
"Apa selanjutnya, kita tidak tahu. Bagaimana kita akan membayar gaji bulan depan? Bagaimana kita akan membiayai kewajiban kita? Bagaimana kehidupan sehari-hari akan berlanjut tanpa likuiditas di tangan orang-orang?" tanya Gubernur PMA, yang setara dengan bank sentral Palestina.
"Saya tidak tahu ke mana tujuan kami. Ketidakpastian ini membuat sulit untuk merencanakan besok," kata Shawwa saat berkunjung ke Yordania awal pekan ini.
Pemotongan dana bantuan untuk Palestina oleh AS selama setahun terakhir secara luas dilihat sebagai upaya untuk menekan Palestina ke meja perundingan setelah memutuskan hubungan politik dengan administrasi Presiden AS Donald Trump pada 2017.
Gedung Putih menginginkan Palestina untuk terlibat dalam rencana perdamaian versi Presiden Trump yang telah lama tertunda --yang populer disebut sebssagai 'the Deal of the Century'.
Komponen ekonomi dari 'the Deal' rencananya akan diumumkan pada konferensi di Bahrain minggu depan, di mana Palestina memboikotnya, beralasan bahwa perhelatan itu cenderung pro-Israel.
Shawwa menambahkan, memburuknya keadaan finansial Palestina, merupakan fakta kegagalan negara-negara Arab untuk menghormati janji donor mereka, menyediakan hanya US$ 40 juta.
Akibatnya, dikatakan Shawwa, Palestina harus meningkatkan pinjaman dari 14 bank untuk mengatasi krisis.
Dimana, sepertiga dari US$ 8,5 miliar pinjaman bank dan fasilitas terutang atas nama Palestina, sedangkan sisanya atas nama sektor swasta.
"Tanpa itu (pinjaman) akan ada keruntuhan keuangan. Saya memiliki kekhawatiran untuk pertama kalinya atas stabilitas keuangan," kata Shawwa.
"Ekonomi Tepi Barat yang pernah berkembang pesat, dengam pertumbuhan rata-rata 3,3 persen dalam beberapa tahun terakhir, kini telah berubah menjadi merah," tambahnya.
Pemecatan tiba-tiba dari ribuan orang yang pernah bergantung pada proyek-proyek yang dibiayai AS memperburuk keuangan pemerintah melalui pengumpulan pajak yang lebih rendah dan menghasilkan default yang lebih tinggi pada pinjaman bank dari perusahaan-perusahaan bermasalah, tambahnya.
"Kami diperangi oleh kekuatan paling penting di dunia," ujarnya merujuk pada pemerintahan Trump.
Satu-satunya hal yang mencegah krisis ekonomi besar adalah uang tunai yang diperoleh lebih dari 100.000 warga Palestina yang bekerja di Israel, dan pengiriman uang dari warga Palestina yang bekerja di luar negeri.
Shawwa, yang telah diundang untuk menghadiri konferensi Bahrain saat itu mengatakan, pihaknya sangat kesulitan menjalankan segala rencana yang telah dibuat untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi tanpa adanya kesediaan dan dukungan dari para mitra.
Sumber: liputan6.com
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…